Oleh Zayn Al Muttaqien
Ini tentang anakku, Ahza Gahara Adhidrawa (yang saat itu berumur 3,5 tahun), dan juga 'meong'; kucing kesayangannya --yang kelak, beberapa jenak kemudian menjadi musuh bebuyutannya-.
Sedangkan aku; sang empunya meong, yang dalam kacamata Ahza, terutama di akhir Ramadhan --yang konon katanya kembali kepada kesucian dan kembali kepada firahnya sebagai manusia Islam (muslim) -, ternyata 'memiliki rupa' yang sama alias tidak berbeda dengan binatang.
Hmh, Ahza memang 'kejam'. Padahal setidaknya ia bisa menambahkan kata 'masih' sebelum  kalimat 'memiliki rupa' ia ungkapkan.
Arkian, suatu ketika mamah Ahza ingin menghentikan kebiasaan 'ngedot'Â anak bungsunya itu. Â Sebab, dikhawatirkan bisa menimbulkan obesitas bagi Ahza. Setelah berbagai upaya dilakukan tidak membuahkan hasil, mamah Ahza terpaksa berbohong, "Sudah jangan ngedot aja. Dotnya juga nggak ada, dimakan meong!"
Setengah tidak mengerti, raut wajah Ahza menampakkan kemarahan. Â Malam itu Ahza melewati malam dengan kegundahan yang luar biasa.
Esoknya, ketika terbangun, Ahza melihat kucing berjalan melewati pintu kamarnya. Perlahan ia bangun, menghampiri kucing dan bertanya dengan nada datar, "Meong, mana dot Dede? Kamu makan, ya?" tanyanya serius. Si kucing hanya celingukan.
Mendengar itu, kami; aku dan mamah Ahza tak kuasa menahan tawa karena melihat anak bungsu itu berbicara kepada binatang, layaknya kepada manusia. Melihat kami menertawainya, rupanya Ahza tersinggung. Ia pun menangis disertai marah. Sebagai pelampiasannya, Ahza kemudian menendang-nendang kucing kesayangannya yang kemudian lari ketakutan.
Ternyata, dalam pandangan si kecil Ahza, manusia dan binatang tidak ada bedanya. Apakah binatang yang mencondongkan diri kepada manusia, ataukah manusia yang mencondongkan diri kepada binatang? Entahlah!
Hanya saja, di penghujung Ramadhan ini, di awal-awal kita menyambut bulan kesucian, sejenak marilah kita berjalan di pelataran atau di belakang rumah kita.
Tengoklah, ada pisang yang memiliki fitrah mengeluarkan jantung terlebih dahulu. Dari dalam jantung itulah ke luar buah pisang yang hijau dan segar. Ya, pisang telah bekerja sesuai dengan 'fitrah' atau maqadarnya. Pisang tetap suci sampai akhir hayatnya; pisang tidak pernah berbuah semangka. Sebab, kalau ada pisang yang ke luar dari fitrahnya, kita akan bertanya. Itu pisang atau bukan? Kehadirannya sangat diragukan.
Tengoklah, ada burung yang terbang dengan mengepakkan sayap. Ya, burung telah bekerja sesuai dengan 'fitrah' atau maqadarnya. Burung tetap suci sampai akhir hayatnya; burung tak pernah berenang di dasar lautan. Sebab, kalau ada burung yang ke luar dari fitrahnya, kita akan bertanya. Itu burung atau bukan? Kehadirannya sangat diragukan.
Tengoklah, ada ikan yang berenang di dalam kolam. Ya, ikan telah bekerja sesuai dengan 'fitrah' atau maqadarnya. Ikan tetap suci sampai akhir hayatnya; ikan tak pernah terbang di angkasa. Sebab, kalau ada ikan yang ke luar dari fitrahnya, kita akan bertanya. Itu ikan atau bukan? Kehadirannya sangat diragukan.
Kemudian di 'Idul Fitri' Â nanti, mari pula kita berkaca dengan cermin yang kita punya. Sudahkah kita pun kembali sesuai fitrah sebagi manusia Islam? Penebar kasih sayang;ruhamah, kompak, dan penebar keselamatan? Sebab kalau ada muslim yang ke luar dari fitrahnya, kita akan bertanya, itu muslim atau bukan. Kehadirannya sangat diragukan.
Kita takut, dalam beberapa sikap tertentu, kita malah sama dengan makhluk lain seperti dalam pandangan Ahza; tak ada bedanya. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H