Wabah  Covid-19 yang awalnya terjadi hanya di Wuhan, China. Telah menjadi pandemi sejak awal tahun 2020 di seluruh dunia. Indonesia termasuk negara yang terdampak pandemi ini terutama dalam sektor pendidikan dan ekonomi.
Sektor pendidikan adalah hal paling disorot karena salah satu ciri dari pembelajaran adalah tatap muka di kelas. Sedangkan dalam protokol kesehatan Covid-19 ini. Pelarangan kontak fisik terutama berkerumun atau berkumpul dalam jarak dekat sangatlah wajib dihindari.
Aktivitas rutin sekolah seperti upacara bendera, praktik kejuruan dan kegiatan belajar di kelas dengan segala ragam keceriaan yang khas hilang dari kegiatan harian siswa.
Keputusan pemerintah melalui Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan mengubah metode pembelajaran yang sebelum datangnya wabah Corona ini adalah tatap muka di sekolah, kemudian mengambil langkah pembelajaran daring atau belajar jarak jauh memanfaatkan teknologi komunikasi.
Metode ini tentunya sangat cocok dan efektif dilakukan di daerah perkotaan yang mana sudah tersedia baik jaringan ataupun alat berupa gadget yang memadai.
Namun, apa yang terjadi ketika kebijakan ini diberlakukan di pelosok atau perkampungan yang belum memiliki jaringan internet yang baik. Bahkan bagi sebagian siswa menengah ke bawah lebih banyak tidak memiliki ponsel ataupun kuota.
Perubahan sistem pembelajaran ini pada akhirnya membuat siswa bekerja keras untuk menemukan solusi agar tetap mengikuti pembelajaran daring. Salah satunya mencari tempat yang jaringan internetnya lumayan bagus.
Di tempat saya mengajar yaitu SMK Negeri 1 Agrabinta, Cianjur selatan. Kebetulan sekolah ini terletak di dekat lokasi kantor kecamatan, memang berada tak jauh dari BTS beberapa provider. Hanya saja kendala sinyal ini tidak menjangkau wilayah pelosok. Sedangkan siswa-siswa kami lebih banyak yang berasal dari pelosok dengan jaringan internet yang buruk.
Jika listrik sedang padam bahkan jaringan seluler untuk sekadar menelepon pun seketika hilang. Keluhan ini, memang simalakama bagi pendidik. Di lain pihak kemendikbud tetap meminta laporan kegiatan belajar daring setiap minggunya. Belum lagi tuntutan awal belajar daring harus dilakukan via google meet. Atau memakai aplikasi belajar Edmodo.
Tentunya tuntutan belajar daring dengan aplikasi berbasis kuota ini sangat memberatkan siswa yang notabene tinggal di wilayah pelosok. Kami dari pihak sekolah akhirnya memberikan opsi lain yang lebih mudah dijangkau. Seperti memilih aplikasi Whatsapp sebagai sarana pemberian materi pelajaran dan pengumpulan tugas.
Penggunaan aplikasi ini pun belum mampu mengatasi kesulitan belajar daring. Demi mengejar sinyal jaringan internet. Para siswa rela belajar di tempat yang lumayan memiliki kualitas sinyal baik. Misalnya ada yang harus belajar di pinggiran sungai. Di gubuk sawah. Di pos siskamling dan lain-lain.
Keterbatasan gadget yang justru menjadi hal utama kendala dalam belajar daring ini hingga sekarang masih ada siswa yang harus meminjam ponsel saudara atau tetangga. Sebenarnya keluhan demi keluhan sudah banyak dilontarkan para orangtua siswa. Namun, hingga saat pemerintah belum membuka kegiatan belajar tatap muka. Kondisi pun makin tidak menentu dengan fluktuasi kasus covid Cianjur yang memasuki zona merah.
Sekarang dengan sistem daring di masa pandemi. Tentunya siswa dan pendidik ingin sekali kembali dalam situasi normal, apalagi kendala yang begitu berat terus kami hadapi di pelosok.
Semoga wabah Covid-19 ini segera lenyap dari bumi pertiwi dan para generasi bangsa kembali mengenyam pendidikan secara normal. Walaupun harus menerapkan protokol kesehatan yang ketat.Â
Cianjur, 20012021
Zatil Mutie
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI