***
"Ri ... Rio?" Sebuah tepukan membuyarkan nostalgiaku. Kutoleh suara yang dulu sangat kukenali.
"Riana?!" Kuusap tetesan air bening yang jatuh tak tertahan.
"Udah, gak ada gunanya disesali. Alya sudah pergi," ungkapnya sendu.
"Gue merasa bersalah, Ri. Gue tahu ceritanya dari Arka, sepupu Alya."
Arka memang sahabat yang paling menyesali keputusanku memutuskan taaruf dengan Alya. setelah menikah Alya hidup tertekan dengan tindakan keras suaminya Sandi. Sandi bahkan pemuda yang lebih urakan dibanding aku, bahkan di saat Alya hamil, Sandi sering meninggalkan Alya sendirian, kondisi Alya lemah, Sandi lebih suka keluyuran sampai malam dengan alasan bekerja.
Alya melahirkan dengan susah payah hingga akhirnya meregang nyawa setelah berjuang demi putri kecilnya Khaira.
"Keputusan Lo saat itu salah besar, Bro!" Arka mengakhiri ceritanya.
"Lo, pengecut! Dipikir Alya gak pantes karena terlalu baik, tapi Lo udah nganterin hidup dia ke gerbang neraka tahu!"
"Maafin, Gue ... Ka." Hanya itu yang bisa meluncur dari mulutku, rasa bersalah makin menggunung. Aku takut tak bisa menjadi imam yang baik untuk Alya kala itu.
***
"Yuk, kita doain Alya," ajak Riana melangkah di depanku.
Aku mengikutinya, saat itu suasana pemakaman mulai sepi, rintik hujan masih setia menemani kami, menyambut kepergian calon bidadari surga yang telah terluka.