"Mut, kenapa melamun?" Suaranya memecah suasana. Ya, Sejak tadi kami memang berdua di pinggir Raudah, menunggu acara dimulai.
"Gak kenapa-napa, Kak. Oh, ya. Selamat, Kakak mendapat nilai ujian nasional tertinggi tahun ini." Aku berpura-pura mengalihkan pembicaraan. Sungguh, hatiku tiba-tiba bergetar tak keruan.
"Makasih, Mut," jawabnya pendek.
"Kenapa, Kak? Kok, kayak gak seneng?"
"Aku bingung, Mut. Orang tuaku bangkrut. Jadi mimpi untuk kuliah, sekarang ... harus kupikirkan ulang," ungkapnya sedikit berat.
"Kakak harus semangat. Kuliah 'kan ada jalur beasiswa atau kuliah sambil kerja. Jadi gak usah sedih lagi, Kak."
"Makasih, Mut. Aku hampir lupa." Sidqi mendongak, semangatnya tampak kembali muncul.
"Kemana pacarmu, Kak. Seharusnya ini hari yang paling indah buat kalian."
Raut wajah Sidqi seketika berubah. Lalu sorot tajam itu beralih dan membuatku tak berkutik.
"Mut, kenapa kamu gak pernah jujur. Bahkan hingga detik perpisahan ini."
Aku terkejut. Entah apa yang harus kuungkapkan dan dari mana dia mengetahui rahasiaku.