Mohon tunggu...
Zata Al Dzahabi
Zata Al Dzahabi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Penulis & Konten Kreator Multi Talenta

Melihat berbagai peristiwa dari berbagai manusia dan berbagai sudut pandang

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Hukuman untuk Orang Toxic, Enaknya Diapain Ya? (Filosofi Hukuman & Manusia)

4 Agustus 2023   15:49 Diperbarui: 4 Agustus 2023   15:49 500
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: Merdeka.com (ilustrasi hukuman mati untuk orang jahat)

Tentang Hukuman

Apa yang kalian pikirkan ketika mendengar kata 'hukuman'? kebanyakan dari kita berpikir hukuman dalam konteks warga negara itu bisa saja penjara, denda, penyitaan aset atau harta, sampai hukuman mati. 

Kalau di konteks budaya masyarakat ada istilah yang sedang trend yakni 'cancel culture' atau menghukum seseorang yang dinilai telah melanggar norma tertentu, dengan beramai-ramai meng-cancel atau kasarnya menghujat orang tersebut. 

Ada juga hukmuan berupa dijauhi orang lain atau yang biasa disebut hukuman sosial, semua orang pasti punya pandangan yang berbeda mengenai hukuman yang pantas diberikan kepada orang jahat dan toxic. 

Seperti kasus yang sempat viral beberapa bulan lalu melibatkan 2 remaja, berinisial MD dan AG sebagai tersangka kasus pemukulan. 

Ketika AG divonis 3 tahun 6 bulan penjara terjadi banyak pro kontra di masyarakat ada yang setuju, karena merasa memang AG pantas dipenjara atas perbuatan kejinya itu tapi ada juga yang tidak setuju karena AG ini masih di bawah umur. 

Pihak yang tidak setuju AG dikenai hukuman tersebut, melihat AG yang masih berusia 15 tahun sehingga tidak sepantasnya dihukum penjara karena belum dewasa secara hukum. 

Kembali ke pertanyaan apa itu hukuman?, Abdul Arsyi Penulis Jurnal Hukum Universitas Muhamadyah Malang menjelaskan menurut Elizabeth B. Hurlock, hukuman atau punishment berasal bahasa Latin yang Artinya 'menjatuhkan' kepada orang yang bersalah karena telah melakukan kejahatan atau pelanggaran. 

Jadi hukuman itu sesuatu yang diberikan kepada orang-orang bersalah bahkan dijelaskan spesifik oleh Elizabeth dengan kata kejahatan, dalam kasus AG dan MD sudah jelas mereka bersalah MD memukuli anak orang dan AG terlibat karena merekam kejadian itu. 

Kenapa Manusia Harus Dihukum?

Sekarang pertanyaannya kenapa ya orang itu harus dihukum jika melakukan suatu kesalahan atau melanggar peraturan tertentu?, lalu bagaimana cara yang ideal untuk menghukum seseorang yang telah melakukan kejahatan?. 

Segala bentuk kejahatan apalagi sampai melukai orang lain adalah tindakan yang tidak terpuji kita semua sepakat dengan itu, hukuman dilakukan dengan cara mengambil atau merampas sesuatu dari pelaku. 

Misalnya pelaku melakukan pemukulan terhadap seseorang kemudian di hukum penjara, artinya kebebasannya sebagai warga negara di rampas dari yang bisa bepergian kemana-mana, sekarang harus mendekam di jeruji besi selama berbulan-bulan atau bertahun-tahun. 

Ketika seorang pejabat publik melakukan korupsi misalnya artinya dia sudah merampas uang rakyat, maka harus dihukum dengan dirampas kembali uang rakyat yang telah ia korupsi dengan denda, mengembalikan uang yang telah dikorupsi, atau aset-aset yang dia miliki disita negara. 

Penulis Jurnal Binus University Agus Riyanto menjelaskan hukuman diperlukan, agar seseorang atau masyarakat taat dan patuh terhadap peraturan hukum itu sendiri. 

Sederhananya orang yang taat kepada peraturan umumnya beralasan karena takut akan sanksi atau hukuman yang akan dia dapat, apabila melanggar peraturan tersebut jadi hukuman ini dianggap sebagai malapetaka bagi kebanyakan orang. 

Sehingga kita mau tidak mau patuh pada peraturan, hukum dijatuhkan kepada seseorang yang telah terbukti bersalah dan melanggar peraturan atau perundang-undangan. 

Siapa yang memutuskan bahwa seseorang itu bersalah atau tidak?, tentu saja Pengadilan dalam hal ini Hakim sebagai penegak hukum yang paling berwenang.

Perspektif Cara Hukuman    

Sebenarnya ada banyak perspektif cara dalam menghukum seorang pelaku kejahatan tapi salah satu yang paling populer digunakan sejak zaman kerjaaan dulu sampai sekarang, adalah Retribution yakni hukuman kepada seseorang dengan cara membalas kesalahan atau kejahatan yang telah dilakukan orang tersebut, misalnya  apabila ada seseorang membunuh orang lain maka ia harus dibunuh juga. 

Jadi konsepnya 'hutang nyawa bayar nyawa' kejahatan harus dibalas dengan sesuatu yang setimpal, cara ini diperlukan untuk mengontrol moral masyarakat dengan konsekuensi tegas kepada mereka yang melakukan kejahatan. 

Jika ada seorang pejabat politik melakukan korupsi, maka harusnya seluruh kekayaan hasil korupsinya itu disita oleh negara. 

Tapi di Indonesia tidak begitu koruptor tertangkap kemudian dipenjara lalu bebas tapi masih tetap kaya, bahkan bisa mencalonkan diri lagi menjadi DPR meski berulang kali masuk penjara karena korupsi. 

Cara Retribution ini sangat erat kaitannya dengan balas dendam dan kepuasan, tidak bisa dipungkiri memang ketika kita melihat orang yang sudah jahat kepada kita menderita. 

Misalnya ia telah membunuh seluruh anggota keluarga kita, kemudian dia dihukum mati bahkan kita melihat sendiri ketika sang pelaku di tembak mati di depan mata pasti kita merasa puas.

Salah satu hukuman Retribution di Indonesia yang masih kontroversial sampai sekarang adalah hukuman mati, dimana hukuman ini dijatuhkan kepada pelaku kejahatan berat seperti pembunuhan berencana atau memperdagangkan Narkoba secara masif. 

Desmond Tutu Ahli Teologi asal Afrika Selatan bersama Komnas HAM RI, menolak dengan tegas hukuman mati karena jelas melanggar hak hidup manusia. 

Dalam artikel di laman resmi Komnas HAM RI Tutu menyatakan 'tidak ada keadilan dalam pembunuhan atas nama keadilan', baginya setiap manusia memiliki hak untuk hidup dan bebas dari segala bentuk penyiksaan.

Kenapa Hukum di Indonesia Gak Adil?

Di Indonesia jika ada orang yang korupsi milyaran hingga triliunan Rupiah sudah jelas merugikan masyarakat, hukuman apa yang ia dapatkan? Apa hukuman yang sekiranya tepat untuk seorang koruptor?. 

Banyak orang menyuarakan di media sosial saat ini bahwa koruptor sebaknya dihukum mati saja, dengan menggunakan Cina sebagai patokan sebagai negara yang menghukum mati koruptor. 

Ada juga yang berpandangan jangan dihukum mati karena terlalu kejam lebih baik dipenjara saja seumur hidup, bahkan ada juga yang mengusulkan potong tangan dengan dalil ayat-ayat kitab suci. 

Semua usulan itu pada dasarnya memiliki satu tujuan yang sama, yakni agar pelaku jera sehingga tidak mau mengulangi perbuatan jahatnya itu. 

Dari sini bisa dilihat bahwa masyarakat Indonesia memiliki perspektif hukuman Retribution untuk semua pelaku kejahatan, pertanyaannya apakah cara hukuman seperti ini efektif dan adil?. 

Kenyataannya memenjarakan atau menghukum mati pelaku kejahatan tidak memberikan manfaat apa-apa bagi korban maupun masyarakat, cara hukuman Retribution bahkan bisa menjadi tidak berguna. 

Karena tidak bisa mengubah kejadian masa lalu atau memperbaiki masa depan, jadi cara ini hanya untuk memuaskan emosi jangka pendek pihak korban yang merasa tersakiti karena kejahatan yang dilakukan pelaku. 

Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman menyatakan, bahwa hukum memang tidak selalu berarti adil karena di dalam hukum itu sendiri terdapat kejahatan. 

Dalam artikel di laman resmi MKRI Anwar menjelaskan Pasal 24 UUD 1945 yang menyebutkan, bahwa kekuasaan Hakim adalah kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan menegakan hukum dan keadilan. 

Itulah yang membuat hukum tidak selalu berarti adil, karena kalimatnya jelas 'hukum dan keadilan' bukan 'hukum yang adil' jadi hukum dan keadilan adalah 2 hal yang berbeda.

Pesan Mahatma Gandhi

Terkait pembahasan ini Ahli Spritual sekaligus Politisi asal India Mahatma Gandhi pernah mengatakan 'sebaiknya manusia belajar menuntut keadilan, tanpa ada keinginan untuk balas dendam' apalagi di zaman modern seperti sekarang. 

Jika dendam terus ditunut untuk dibalas manusia menjadi fokus kepada menghancurkan manusia lain, hukuman yang baik itu menjunjung tinggi prinsip membangun dan mengubah masyarakat agar menjadi lebih baik. 

Bukan pelampiasan emosi atau balas dendam yang menghancurkan, hukuman Retribution dengan memberikan balasan setimpal dengan pelaku kejahatan, hanya akan berbuah kepuasan sesaat pada korban dan kehancuran bagi tersangka. 

Hukuman harus berlandaskan semangat harapan, cinta kemanusiaan, dan keinginan untuk membangun masa depan yang lebih baik, meskipun hukuman pidana dengan memberi balasan setimpal terhadap pelaku ini tetap diperlukan. 

Vanya Karunia Jurnalis Kompas.com menjelaskan, ada salah satu ajaran Mahatma Gandhi yakni Ahimsa artinya perlawanan yang tidak membahayakan orang lain, konsep ini juga ada di agama Buddha dan Hindu. 

Gandhi menggunakan Ahimsa sebagai perlawanan terhadap Kolonialisme Inggris yang pada masa itu berkuasa di India, Ahimsa berasal dari Bahasa Sansekerta 'A' artinya tidak dan 'Hims' artinya membunuh. 

Maka Ahimsa diartikan sebagai gerakan perlawanan tanpa ada keinginan untuk membunuh, orang yang memegang prinsip Ahimsa tidak akan membahayakan diri sendiri, orang lain, dan semua makhluk hidup di bumi.   

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun