Mohon tunggu...
Zata Al Dzahabi
Zata Al Dzahabi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Penulis & Konten Kreator Multi Talenta

Melihat berbagai peristiwa dari berbagai manusia dan berbagai sudut pandang

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Sungkeman Bukan Tradisi Islam, Simak Penjelasannya!

19 April 2023   20:33 Diperbarui: 19 April 2023   20:39 376
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Makna & Filosofi Sungkeman

Bulan Ramadhan tahun ini hampir berakhir dan hari semakin mendekati hari raya Lebaran Idul Fitri bicara tentang hari Lebaran, selain identik dengan Sholat Ied salah satu tradisi yang setiap tahun pasti ada di hari raya ini adalah Sungkeman. 

Prosesi yang khidmat dan terkesan sakral ini dilakukan dalam rangka saling memaafkan satu sama lain, antar kerabat atau keluarga besar dengan cara anak-anak muda bersimpuh/berlutut di depan orang tua. 

Kemudian mereka mencium tangan orang tuanya (umumnya ayah, ibu, kakek, nenek), anak-anak muda lalu mengucapkan permohonan maaf kepada orang tuanya, sedangkan orang tuanya akan mendoakan dan memeberikan nasihat-nasihat kepada anak-anaknya. 

Melansir dari TheAsianParent dalam artikel yang berjudul Tradisis Sungkeman Saat Idul Fitri, Ini Sejarah dan Makna Dibaliknya. 

Dijelaskan bahwa istilah Sungkeman berasal dari kata 'Sungkem' yang dalam bahasa Jawa artinya adalah bersimpuh sambil mencium tangan, filosofi yang terkandung di dalam Sungkeman adalah simbol kerendahan hati seseorang. 

Karena posisi tubuh yang membungkuk ketika Sungkem, menjadi isyarat akan sikap peduli kepada orang tua dan tidak egois dengan meminta maaf secara tulus sebagai anak. 

Tradisi ini merupakan wujud penghormatan kepada orang-orang tua, dengan mengharuskan anak-anaknya bersimpuh dan mencium tangan mereka, merupakan tanda sebagai tanda bakti dan menyayangi orang tua yang sudah merawat dan mengasuh sejak lahir.

Asal Mula Sungkeman

Diceritakan saat itu pendiri Keraton Surakarta Kanjeng Gusti Pangeran Agung Mangkunegara I mengumpulkan seluruh pasukan pengawal Keraton sehabis Sholat Ied, untuk saling bermaaf-maafan satu sama lain. 

Informasi itu dikisahkan oleh keturunannya yaitu Kanjeng Gusti Pangeran Haryo Mangkunegara X, beliau menyatakan bahwa memang tradisi itu awalnya dilakukan oleh keluarga Adipati (Kerajaan) Pura Mangkunegara. 

Mengutip dari Merdeka.com dalam artikel yang berjudul Berawal dari Kraton Solo, Begini Sejarah Tradisi Sungkeman dalam Budaya Jawa. 

Tradisi Sungkeman sempat menimbulkan kecurigaan Belanda pada masa kolonial itu karena dianggap sebagai pengumpulan masa, untuk melakukan pemberontakan terhadap pemerintahan Belanda. 

Saat itu pada tahun 1700an orang-orang Keraton menjadi tidak leluasa dalam mengadakan acara Sungkeman, Belanda yang sangat curiga acara itu adalah pertemuan terselubung untuk melawan penjajahan sangat khawatir. 

Bahkan pada tahun 1930 perayaan Idul Fitri sempat diwarnai konflik, antara pihak Belanda dengan Bangsa Indonesia hingga nyaris membuat Ir. Soekaran dan Dr. Radjiman Wedyoningrat ditangkap, ketika datang ke acara Sungkeman di Gedung Habipraya Keraton Surakarta. 

Tradisi Sungkeman sekarang perlahan mulai berubah khususnya di kalnagan pemerintah, menjadi "open house" dimana mereka mengundang masyarakat secara terbuka ke istana.  

Hal ini karena pada saat terjadi kecurigaan oleh pemerintahan Belanda, Sri Sultan Pakubuwono meresponnya dengan mengatakan bahwa Sungkeman bukanlah aksi penggalanagan massa, tapi saling maaf-maafan dalam rangka suka cita menyambut Idul Fitri.    

Pandangan Islam

Lalu bagaimana pendapat para Ulama Muslim mengenai tradisi Sungkeman ini? Sejauh ini tidak ada larangan baik dari ayat maupun hadits mengenai Sungkeman secara spesifik, islam tidak melarang menghormati manusia lain, selama tidak dilakukan dengan gerakan yang menyerupai bentuk takzim kepada Allah ketika Soholat seperti rukuk dan sujud.

Melansir dari laman resmi Nahdlatul Ulama dalam artikel yang berjudul, Tradisi Sungkeman saat Lebaran Menurut Hukum Islam Imam Nawawi pernah bekata, Tidak makruh mencium tangan karena kezuhudan, keilmuan dan faktor usia yang lebih tua." 

(al-Imam al-Nawawi, Raudlah al-Thalibin, juz 10, halaman 233). 

Bahkan sebagian sikap hormat kepada orang yang lebih tua itu disunahkan seperti dengan cara berdiri untuk hormat atau memuliakan, Syekh Zainudin al-Malibari mengatakan dalam kitab Fath al-Mu'in Hamisy I'anah al-Thalibin. 

"Sunah bediri untuk orang yang memiliki keutamaan yang tampak, seperti kesalehan, keilmuan, hubungan melahirkan atau kekuasaan yang dibarengi dengan penjagaan diri." 

Mengomentari kutipan tersebut Syekh Abu Bakar bin Syata berkata "Ungkapan 'Sunah bediri untuk orang yang memiliki keutamaan yang tampak'---maksudnya, dengan motivasi memuliakan dan bentuk kebaktian, bukan karena pamer. 

Ucapan 'atau hubungan melahirkan'---maksudnya, sunah berdiri kepada orang yang melahirkan seperti bapak atau ibu." 

Bahkan para Ulama kontemporer menganggap memuliakan keluarga atau kerabat adalah wajib ketika apabila tidak melakukannya, bisa memutus tali silaturahim yang dapat berakibat dosa.

Sungkeman-Sungkeman Lain

Sebenarnya ada banyak acara di kebudayaan masyarakat Jawa yang disertai dengan Sungkeman mulai dari pernikahan, dilakukan oleh kedua pengantin kepada kedua orang tuanya sbagai bentuk permohonan maaf dan meminta doa restu. 

Kemudian di acara perpisahan sekolah dilakukan oleh murid-murid yang sudah lulus, kepada para guru sebagai bentuk permohonan maaf dan memohon doa agar menjadi anak yang sukses di masa depan dan masih banyak lagi. 

Sungkeman kadang dianggap sebagai prosesi yang sakral, sehigga tidak jarang membuat orang-orang  yang hadir menteskan air mata bahkan sampai berpelukan.

Filosofi Jawa

Dalam budaya Jawa Sungkeman diartikan sebagai wujud ungkapan terima kasih seorang anak kepada orang tuanya yang telah melahirkan dan merawatnya sejak lahir, saat Idul Fitri Sungkeman dilakukan untuk memuliakan orang tua. 

Mengutip dari Bola.com dalam artikel yang berjudul Cara Sungkem Lebaran yang Benar dan Sejarah Tradisinya, karena momen Lebaran Idul Fitri adalah saatnya untuk bermaaf-maafan, maka Sungkeman dijadikan simbol sebagai permohonan maaf seorang anak kepada orang tuanya. 

Dalam bahsa Jawa disebut "nyuwun ngapura" artinya meminta maaf, kata 'ngapura' sendiri berasal dari bahasa Arab yaitu 'ghafura' yang artinya tempat pengampunan.  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun