Mohon tunggu...
Zata Al Dzahabi
Zata Al Dzahabi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Penulis, Content Creator, Podcaster

Introvert yang senang menulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Rasisme Orang Papua di Indonesia Masih Sering Terjadi, Kenapa?

8 Maret 2023   20:23 Diperbarui: 8 Maret 2023   20:45 1223
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Image from: Tempo.co (aksi demo Mahasiswa Papua "saya bukan monyet")

Rasisme & Teori Spiral Keheningan

Fenomena rasisme yang dialami orang papua di Indonesia selama beberapa tahun terkahir ini cukup ramai menjadi perbincangan publik, khususnya pada kasus rasisme yang dialami Mahasiswa  Papua di Surabaya. 

Dimana mereka mengaku mengalami pelecehan verbal oleh beberapa oknum aparat dengan sebutan 'monyet', kemudian tuduhan bahwa mereka telah membuang Bendera Merah Putih ke dalam selokan, berakibat pengepungan asrama Mahasiswa Papua di Surabaya oleh ormas provokatif dan penangkapan oleh pihak kepolisian. 

Kasus rasisme yang terjadi di Indonesia dapat dijelaskan dengan Teori Spiral of Silence, dalam kasus ini bisa dilihat bahwa para Mahasiwa Papua, adalah pihak yang keras dalam menentang tindakan rasisme ini dan didukung oleh media sebagai penampung aspirasi mereka. 

Hal ini terlihat jelas dengan rentetan gerakan massif masyarakat papua di berbagai daerah, yang ikut memnentang tindakan rasis dan ujaran penghinaan terhadap orang Papua pada 2019. 

Peran Jurnalisme bisa diartikan sebagai pengangkat isu sekaligus penyalur aspirasi masyarakat Papua, media melakukan Agenda Setting dengan mempublikasi berita tentang tindakan rasisme. 

Kemudian melakukan peliputan aksi unjuk rasa orang-orang Papua yang merasa terhina dengan tindakan rasisme tersenut, ini yang kemudian membuat publik menjadi peduli (aware) terhadap fenomena rasisme. 

Masyarakat menjadi tertarik untuk mencari informasi seputar rasisme, mempelajari bagaimana rasisme adalah tindakan yang bertentangan dengan HAM, tentunya berdasarkan apa yang mereka baca atau tonton di media yang mengemas fenomena rasisme dalam sebuah berita. 

Fenomena rasisme yang sebelumnya mungkin tidak pernah disadari oleh masyarakat, dengan media mengekspos fenomena ini dengan cara framing dan keberpihakan mereka, kepada orang-orang Papua sebagai kelompok yang dirugikan membuat masyarakat peduli, bahwa kasus rasisme bukanlah hal yang patut dispelekan karena media secara massif membuat berita mengenai rasisme.

Eka Sri Dana Afriza, Analisis Kasus Rasisme Papua Natalius Pigai Dalam Perspektif Teori Spiral Keheningan, Jurnal Universitas Sahid Jakarta (2021:11)

Rasisme & Etnosentrisme

Sikap Etnosentrisme adalah tindakan provokatif yang bisa memantik konflik/pertikaian antar suku karena memandang rendah suku/etnis tertentu, apalagi Indonesia adalah negara dengan berbagai macam suku bangsa dengan keunikannya masing-masing. 

Keunikan itu bisa berupa budaya, adat istiadat, sampai warna kulit (ras), dalam kasus ini orang-orang Papua yang memiliki warna kulit berbeda dengan mayoritas orang Indonesia. 

Membuat banyak orang merendahkan mereka dan memperlakukan mereka secara tidak adil (diskriminasi), bahkan banyak ang tidak segan menghina mereka dengan bahasa yang kasar. 

Stigma tentang orang Papua yang selalu dianggap tertinggal, kotor,bau dan sebagainya, merupakan bentuk dari sikap Etnosentrisme yang nyata terjadi di Indonesia. 

Diperlukan adanya kesadaran dari masyarakat untuk mengedepankan sikap toleransi yang artinya mengahrgai perbedaan dalam hal apapun, termasuk dengan perbedaan warna kulit. 

Dengan toleransi akan tercipta hubungan yang baik antara warga negara karena perbedaan bukanlah alasan untuk saling bermusuhan atau membenci, apalagi perbedaan warna kulit (ras), karena tidak seorang pun meminta untuk dilahirkan dengan warna kulit tertentu itu sudah merupakan ketentuan Tuhan. 

Sehingga sikap rasisme atau membenci orang dengan warna kulit tertentu, adalah perilaku yang sangat keji dan melanggar prinsip-prinsip kemanusiaan bahkan tidak ada satupun ajaran agama yang membenarkan hal itu. 

Sentimen kesukuan sangat berbahaya karena dapat memicu gejolak atau konflik sosial, secara tidak langsung juga akan mempengaruhi kondisi politik negara. 

Kondisi ketidakadilan yang dirasakan masyarakat Papua sebagai kelompok ras minoritas di Indonesia adalah perlakuan diskriminatif, hinaan fisik verbal, intimidasi, sampai tindak kekerasan (represi).

Elia Nurindah Sari, Etnosentrisme dan Sikap Intoleran Pendatang Terhadap Orang Papua, Jurnal Universitas Negeri Yogyakarta (2020:148)          

Rasisme & Media Sosial

Jika ingin mewujudkan negara yang berkeadilan sosial maka masyarkat dan pemerintah harus saling berbagi peran dalam menumbuhkan sikap toleransi, dalam kehidupan sosial dan bernegara dengan belaku adil tanpa memandang ras seseorang. 

Diskriminasi terhadap orang Papua merupakan bentuk kejahatan moral dan tidak sesuai dengan peri kemanusiaan, kebebasan informasi di media sosial yang cenderung tidak terkendali, dalam memposting atau mengomentari sesuatu juga bisa menjadi sumber tindakan rasisme. 

Karena sebelumnya kebanyakan orang Indonesia sudah memiliki stigma negatif terhadap Papua, ketika melihat postingan di media sosial seperti video kerusuhan yang meliatkan orang Papua misalnya, mereka langsung berkomentar negatif terhadap orang Papua atau bahkan menghinanya, menganggap orang Papua brutal, primitf, pembuat onar dan sebagainya. 

Perbedaan warna kulit hingga kini masih menjadi masalah di masyarakat yang katanya sudah modern ini, padahal perbedaan ras, suku, dan budaya merupakan bagian dari kekayaan bangsa Indonesia. 

Banyaknya komentar rasis di media sosial menunjukan bahwa masyarakat Indonesia, belum memiliki kesadaran mengenai pentingnya menghargai sesama manusia dengan segala perbedaan yang ada, termasuk perbedaan warna kulit dan kesadaran mengenai kesetaraan hak sebagai manusia. 

Di Indonesia padangan negatif terhadap orang-orang kulit hitam masih belum dapat dihilangkan, munculnya gerakan #PapuanLivesMatter di media sosial 2 tahun lalu, merupakan gerakan perlawanan sebagian masyarakat Indonesia termasuk orang-orang Papua, terhadap segala bentuk tindakan rasis dan diskriminasi terhadap orang-orang Papua yang dilakukan kaum tidak bermoral. 

Media sosial seperti Twitter, Instagram, Youtube, atau Tiktok, sebagai alat dengan kemampuannya menyebarkan informasi secara cepat ke suluruh penjuru dunia, digunakan untuk melawan tindakan rasisme dengan kampanye/propaganda menentang tindakan rasisme. 

Media sosial adalah sarana yang tepat untuk mebuat sebuah gerakan internasional, menentang segala bentuk diskriminasi dan rasisme juga membela orang-orang kulit hitam Papua, dengan berbagai cara mulai dari opini berupa teks, gambar, atau video yang mengajak untuk mengentikan tindakan rasisme dan menghargai orang-orang Papua sebagai manusia.

Hilda Indah Bahirah, Gerakan Identitas Minoritas Masyarakat Ras Papua: Studi Netnografi  Gerakan #Papuanlivesmatter, Jurnal Sosial Humaniora (2022:224)

Berikut adalah contoh ujaran rasisme di media sosial:

  

Image from: Grid.id
Image from: Grid.id

Image from: InsertLive
Image from: InsertLive

Image from: Detik Sport
Image from: Detik Sport

Rasisme dari Kacamata Hukum

Pemerintah Indonesia dengan peraturan perundang-undangan yang ada harus memberikan ruang secara proporsional kepada orang-orang Papua, untuk menyuarakan haknya sebagai warga negara dan keresahannya apabila mengalami tindakan rasisme atau diskriminasi. 

Tidak cukup hanya dengan membuat dan mengesahkan hukum secara tertulis, pada hakikatnya memang itu ditujukan untuk menindak segala bentuk tindak diskriminasi, namun pemerintah juga perlu memberikan ruang publik khusus bagi rakyat Papua untuk menyuarakan keresahnnya. 

Kebijakan pemerintah harus berpihak pada hak-hak orang Papua sebagai warga negara,  juga penegakan hukum dengan menindak setegas-tegasnya para pelaku rasisme tanpa pandang bulu. 

Dengan begitu bisa menjalin hubungan yang baik dengan orang-orang Papua, karena mereka juga bagian dari bangsa Indonesia caranya bisa dengan menunjukan sikap tegas, menindak tegas pelaku ujaran rasisme dan memberikan statement publik yang membela orang-orang Papua. 

Sejauh ini pemerintah Indonesia sudah melakukan upaya mencegah tindakan rasisme, dengan membuat UU No.40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis. 

Mengesahkan hukum yang berkomitmen menghapus segala bentuk diskriminasi dan rasisme, juga menindak tegas setiap pelaku atau pihak yang melakukan diskriminasi berdasarkan rasa tau etnis, merupakan langkah konkrit dan tegas yang sudah dilakukan pemerintah. 

Namun meskipun sudah ada peraturan hukumnya nyatanya tindakan rasisme masih banyak terjadi di masyarakat, ini artinya diperlukan adanaya sosialisasi dan edukasi mengenai landasan filosofis, pentingnya menghargai semua orang khususnya saudara sebangsa tanpa memandang warna kulit atau etnis. 

Bentuk-bentuk tindakan rasisme dan diskriminasi mulai dari hinaan fisik, sampai perbedaan perlakuan atas nama ras dan etnis masih sering terjadi di masyarakat.

Defira Martina Adrian, Diskriminasi Rasial dan Etnis dalam Perspektif Hukum Internasional, Jurnal Legalitas (2021:15)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun