Mohon tunggu...
Zata Al Dzahabi
Zata Al Dzahabi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Penulis, Content Creator, Podcaster

Introvert yang senang menulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pro Kontra Childfree di Indonesia, Bagaimana Awalnya?

20 Februari 2023   22:23 Diperbarui: 21 Februari 2023   18:28 1309
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Image from: Bonobology.com (ilustrasi pasangan suami istri tanpa anak)

Meskipun istilah Childfree baru ramai diperbincangkan sekarang namun sebenarnya fenomena ini bukan merupakan hal baru di dunia, berdasarkan The Washington Post (5/9/2019) fenomena Childfree sudah ada sejak abad ke 16 di amerika Serikat, Eropa, Kanada, dan Australia. 

Melansir dari Kompas.com dalam artikel karya Erwina Rachmi pada era 1500an, remaja-remaja perempuan di Amerika dan Eropa kebanyakan sudah mulai menikah di usia 20an. 

Di saat yang sama ada banyak kelompok perempuan yang memilih menunda pernikahan, mereka melakukannya karena ingin lebih fokus membangun karir dan mengumpulkan uang. 

Para perempuan pada masa itu ingin membangun rumah tangga secara mandiri, mereka tidak ingin ketika mereka menikah tapi masih menumpang tinggal di rumah mertua. 

Dengan begitu mereka berpikir harus memantapkan karir terlebih dahulu, baru kemudian dari karir yang bagus bisa mendapatkan uang yang cukup untuk membangun rumah tangga. 

Namun seiring berjalannya waktu banyak perempuan yang akhirnya terlalu sibuk dengan karir mereka, akibatnya banyak dari mereka yang kemudian memilih untuk tidak menikah dan otomatis tidak punya anak. 

Ada sekitar 22% warga Perancis yang memilih untuk tidak menikah, fenomena ini muncul berkaitan dengan pilihan pribadi, alasan ekonomi, dan budaya. 

Jadi Childfree berawal dari perlawanan beberapa kelompok perempuan di Eropa dan Amerika, terhadap budaya pada masa itu dimana kebanyakan perempuan sudah diharuskan menikah di usia 20an. 

Ini yang membuat kemudian negara-negara barat melakukan perlawanan balik, terhadap gerakan perempuan-perempuan itu tapi bukan di negara mereka tapi di negara koloni atau jajahan mereka. 

Karena mereka membutuhkan banyak tenaga kerja, untuk menggerakan roda perekonomian di negara-negara jajahan sehingga mereka otomatis harus menaikan tingkat regenarasi penduduk. 

Dari situlah kemudian Eropa dengan Kolonialisme-nya, mendorong para penduduk pribumi di negara-negara jajahan mereka untuk menikah dan memiliki banyak anak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun