Mohon tunggu...
Zahrotus Sorayya
Zahrotus Sorayya Mohon Tunggu... Civil Engineer -

an energy effiecient and greenbuilding enthusiast// Civil Engineering-Sepuluh Nopember Institute of Technology// PT. Holcim Indonesia, tbk

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

LEED, Sertifikasi Bangunan Hijau sebagai Langkah Efisiensi Energi

21 Agustus 2017   23:17 Diperbarui: 22 Agustus 2017   09:41 4705
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bismillaahirrahmaanirrahiim,

#15hariceritaenergi

Hari ke-5

Upaya  yang dilakukan untuk menjaga keberlanjutan pasokan energi nasional dilakukan dengan dua cara. Upaya yang pertama adalah dengan penerapan  energi terbarukan dan upaya yang kedua adalah dengan konservasi energi.

Menurut  Undang-Undang energi no 17 tahun 2007, Konservasi energi atau penghematan energi diartikan sebagai upaya sistematis, terencana, dan  terpadu guna melestarikan sumber daya energi serta meningkatkan  efisiensi pemanfaatannya. Efisiensi di sini bermakna tepat guna dalam  penggunaan sehingga dengan energi seminimal mungkin bisa mendapatkan  hasil yang maksimal.

Upaya konservasi energi perlu  dilakukan dan disosialisasikan secara menyeluruh kepada seluruh lapisan  masyarakat karena beberapa faktor, diantaranya adalah sebagai berikut :

1. Cadangan sumber energi tak dapat diperbaharui dan terbatas jumlahnya

2.  Masyarakat perlu turut andil untuk aktif dilibatkan dalam komitmen  pemerintah mengurangi emisi Gas Rumah Kaca sebesar 29% di tahun 2020  seperti yang telah disepakati dalam Conference of the Parties 2015 yang  berlangsung di Paris. Hal ini penting dan mendesak untuk dilakukan demi  keberlanjutan kehidupan makhluk hidup di Bumi, dikarenakan meningkatnya  suhu bumi akibat emisi Gas Rumah Kaca menyebabkan keseimbangan ekosistem  menjadi terganggu.

3. Masyarakat perlu dilibatkan dalam usaha pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs) pada tahun 2030 sebagai hasil dari pertemuan Persatuan  Bangsa-bangsa (PBB) pada tahun 2015 yang salah satunya memiliki tujuan  untuk menyediakan energi yang layak dan bersih (Affordable and Clean Energy) serta melakukan berbagai upaya untuk menanggulangi perubahan iklim (Climate Action).

sdgs-globalgoalsforsustainabledevelopment-05-599b320be745911e9c42e922.jpg
sdgs-globalgoalsforsustainabledevelopment-05-599b320be745911e9c42e922.jpg
Sumber : www.un.org

Lalu sektor manakah yang perlu melakukan efisiensi energi? 

Menurut  Kebijakan Energi Nasional, sektor yang wajib mendukung program  efisiensi energi adalah sektor industrial, komersial, transportasi,  maupun rumah tangga. Pada sektor industrial, komersial maupun rumah tangga, bangunan memiliki peranan penting dalam permintaan (demand) energi. 

Seperti  yang kita ketahui, kita menempati bangunan hampir pada 90% kehidupan sehari-hari. Untuk itulah bangunan yang kita tempati juga harus  mempunyai concern yang berwawasan lingkungan yang sering disebut sebagai  bangunan hijau. Berdasarkan Peraturan Menteri No 2/PRT/M/2015  bangunan hijau mempunyai pengertian bangunan gedung yang memenuhi  persyaratan bangunan gedung dan memiliki kinerja tersecara signifikan dalam penghematan energi, air dan sumber daya lainnya melalui penerapan  prinsip bangunan gedung hijau sesuai fungsi dan klasifikasi dalam setiap  tahapan penyelenggarannya. Dalam dunia international, konsep bangunan  hijau sering disebut sebagai Green building concept. 

Untuk  menilai apakah suatu bangunan telah menerapkan konsep-konsep ramah lingkungan dan efisiensi energi, maka dibuatlah sistem rating. Di  Indonesia, sistem rating untuk bangunan hijau disebut sebagai greenship.  Sedangkan di Amerika Serikat sering disebut sebagai LEED (Leadership in Energy and Environmental Design).  Meskipun dipelopori oleh Amerika Serikat, tetapi piranti LEED ini telah diadopsi dibanyak negara seperti Jepang, China, dan India.

Di  Amerika Serikat, LEED terbukti telah berhasil untuk dijadikan piranti  dalam pemberian rating suatu bangunan. Maka tidak heran jika di sana,  sampai dengan Juli 2017, sudah ada jutaan luas bangunan yang sudah  tersertifikasi sebagai bangunan hijau. Ada sekitar 131.400 bangunan  rumah yang telah tersertifikasi, dan lebih dari  38.600 proyek juga  telah tersertifikasi (www.usgbc.org). Hal ini sangat jauh berbeda dengan  yang terjadi di Indonesia, sampai pertengahan tahun 2017 hanya 140  bangunan yang telah mendapatkan sertifikasi Greenship dari Green  Building Council Indonesia (www.tribunnews.com). Disaat yang sama  Singapura telah merilis 1000 bangunan yang sudah tersertifikasi. Lagi-lagi kita tertinggal jauh. Padahal Indonesia mempunyai jutaan  bangunan yang semestinya bisa dilakukan segera mendapat sertifikat  bangunan hijau agar target-target lingkungan yang dicanangkan pemerintah  bisa lebih mudah tercapai.

Berdasarkan riset yang  dilakukan oleh USGBC, bangunan hijau yang telah tersertifikasi mempunyai  dampak yang baik bagi keberlanjutan lingkungan, di antaranya adalah  dapat menurunkan konsumsi energi listrik sebanyak 24%-50%, menurunkan emisi carbon sebanyak 33%-39%, menurunkan penggunaan air sampai 40%, dan menurunkan  jumlah sampah sampai dengan 70%.

Sumber : www.usgbc.com

Sebenarnya, apa sajakah yang dinilai dalam LEED?

LEED  mempunyai beberapa poin penting tekait pelaksanaan penilaian pada  sertifikasi bangunan hijau, seperti pada penjabaran berikut :

1. Live Cycle Assessment

Penilaian  siklus hidup ini ditujukan untuk material bahan bangunan yang digunakan  pada bangunan tersebut terkait potensinya apakah akan menimbulkan  pencemaran lingkungan seperti polusi udara, polusi air, atau potensi  untuk meningkatkan global warming.

2. Siting and Structure Design Efficiency

Maksud  dari poin kedua adalah penilaian terhadap peletakan pondasi desain  bangunan pada lahan yang ada apakah sudah benar-benar efisien.

3. Water Efficiency

Salah  satu tujuan dari penerapan konsep bangunan hijau adalah dapat  mengurangi konsumsi air serta menjaga kualitas air agar tetap baik. Pada  poin ketiga, penilaian dilakukan untuk memastikan apakah bangunan  mempunyai sistem penggunaan air yang efisien. Contoh sederhananya apakah  ada tempat untuk penampungan air hujan yang kemudian bisa digunakan  sebagai air flushing di toilet, ataukah ada pengolahan air  sehingga air kotor (limbah) bisa dimanfaatkan kembali untuk kebutuhan  penyiraman tanaman. 

4. Material Efficiency

Prinsip  penilaian pada poin keempat ini adalah apakah material bangunan yang  digunakan bisa digunakan kembali (re-use), bisa diolah kembali  (re-cycle), atau dapat diperbaharui kembali (renewable).

5. Indoor Environment Quality Enhancement.

Pada  poin ke-5 ditekankan tentang prinsip sirkulasi atau pertukaran udara di  dalam ruangan apakah berjalan dengan baik tidak, lalu penerangan di  dalam ruangan apakah sudah sesuai dengan standart luminitas, yang  terakhir suhu di dalam ruangan apakah sesuai dengan standart atau tidak  (terutaman yang menggunakan AC). Jika berlebihan, maka hal ini akan  mengurangi penilaian, karena yang dinilai adalah efisiensi dan tepat  pada penggunaan. Tidak berlebihan, tetapi juga tidak kekurangan.

6. Energy Efficiency

Energi  efisiensi berfokus pada penilaian penggunaan energi di dalam rumah atau  bangunan tersebut secara tepat dan hemat. Efisiensi energi biasanya  dikaitkan dengan penerapan solar panel sehingga bisa dikatakan rumah  atau bangunan tersebut dapat menghasilkan energi sendiri tanpa  memerlukan pasokan dari luar.

7. Waste Reduction

Pada  poin ketujuh, fokus penilaian adalah apakah bangunan tersebut mempunyai  sistem pengolahan limbah atau apakah terhubung dengan pengelolaan  limbah. limbah di sini adalah limbah cair dan limbah padat yang harus  diolah agar tidak menimbulkan pencemaran lingkungan.

Di Indonesia mempunyai sistem penilaian sertifikasi yang disebut dengan greenship dan  memiliki aspek penilaian yang mirip dengan LEED di antaranya adalah  pengelolaan tapak, efisiensi penggunaan energi dan air, kualitas udara  dalam ruang, penggunaan material ramah lingkungan, pengelolaan sampah  dan air limbah. 

Proses sertifikasi bangunan  hijau ini akan berdampak sangat baik bagi lingkungan, terutama bagi  konsumsi energi. Jika konsumsi energi bisa ditekan melalui proses  sertifikasi bangunan yang melibatkan jutaan bangunan di seluruh  Indonesia, maka efisiensi energi secara nasional pun akan ikut berdampak  baik bagi pasokan energi kita.Tidak hanya energi, tetapi juga akan berdampak secara ekonomi.  Selain itu pencapaian sertifikasi bangunan juga akan mempengaruhi salah satu tujuan Sustainable Development Goals PBB dalam menciptakan kota dan masyarakat yang berkelanjutan dan ramah lingkungan (Tujuan ke-11).

***

#15hariceritaenergi

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral

www.esdm.go.id

Sumber Acuan :

https://www.usgbc.org/articles/usgbc-statistics

http://www.tribunnews.com/metropolitan/2017/08/11/pentingnya-fasad-bangunan-untuk-struktur-keamanan-dan-keindahan-kota

http://www.un.org/sustainabledevelopment/sustainable-development-goals/

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun