Tiga ratus lima puluh kilo meter....
Jalan berliku dan terjal, ratusan kampung dan pemukiman, roda motor bebekku terseok mendaki dan menurun. Hujan... terik matahari sekalipun tiada kuhiraukan, hanya punya kesempatan bertemu kasih belahan jiwa, bersua cahaya kalbu nan bersinar bak bulan purnama.
Tiga ratus lima puluh kilo meter....
Kerinci Padang kulewati, onak duri kusibak kini, bahkan malaikat Rakib dan Atid pun tersenyum, menggenggam tinta menulis tiap langkah yang kulalui. Aku tak peduli... disini... di Maransi, kekasih pujaan hati menunggu, mahligai mimpi dihari tua menanti, bahkan hingga kini masih terukir sejuta puisi tentang perjalanan ini.
Tiga ratus lima puluh kilo meter....
Sumatera Barat, disudut kota Padang "Maransi", terukir indah momen kau dan aku, berpetualang dalam kasih dan sayang anak-anak Adam, memahat seribu kata prosa dan sastra, hanya intuisi para pujangga nan mengerti betapa... kisah asmara remaja nan merona di hembus bayu pantai Padang, atau angin gunung Ayie Pacah.
Tiga ratus lima puluh kilo meter....
Roda sepeda motor bututku melaju, meninggalkan tanah kelahiran Bumi Sakti Alam Kerinci, berlalu membawa segudang rindu, berlalu membawa sejuta cinta nan membuncah... cadas dan terjal tiap tikungan kuhadapi, hingga malaikat mautpun bersendawa, menatap ragu tentang seutas nyawa nan kumiliki. Payah... tiada rasa takut... tiada rasa gentar...
Tiga ratus lima puluh kilo meter....
Akhirnya bahteraku berlabuh, menepi di dermaga bisu tanpa tawa... tanpa warna... hanya rinai hujan di jalanan by pass kota Padang, mengiringi alunan melodi rindu, kita berboncengan menikmati senja kala, dan tiupan angin malam menusuk aroma tubuhmu dihidungku, hingga aku tersadar bahwa aku masih lelaki.
Tiga ratus lima puluh kilo meter....
aku diburu rindu bertemu kamu nun jauh disana, mengumbar hasrat Hawa nan tak mampu membuatku berpaling, hanya karena kau wanita istimewa dibelahan dada, bahkan hingga para gembala pulang di senjakala, aku masih mencium aroma tubuhmu, bahkan tiap helaian rambutmupun masih bisa kuhitung.
Tiga ratus lima puluh kilo meter....
Disudut kota Padang Sumatera Barat, dua insan nan merajut asa berumah tangga, nan mengukir mimpi dimasa senja, saling menggenggam jemari, disaksikan hempasan ombak pantai Purus, dan kicauan camar nan menampar buih, lenyap ditelan melodi sendu detak waktu.
Tiga ratus lima puluh kilo meter....
Maransi senja itu... dilanda hujan deras hingga jalanan bypass pun tergenang banjir... dan diwajahku mengalir banjir bandang, nan turun dari hujan air mata... yah... itulah terakhir kali kita bertemu dalam satu nafas cinta... namun derai hujan nan menerpa, membelokkan langkah kita, kau dan aku harus berpisah... demi asa dan cita masing-masing.
Tiga ratus lima puluh kilo meter....
Maransi... sebuah kampung disudut kota Padang, menjadi saksi sebuah kisah nan tak mungkin terlupa...
Maransi... Maransi... Siteba... Padang Sumatera Barat....
Sebuah kisah harus lenyap ditelan cakrawala nan tak berpihak
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H