Mohon tunggu...
Zarmoni
Zarmoni Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penggiat Seni dan Budaya Kerinci

Penggiat Seni, Adat dan Budaya Kerinci

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerita Rakyat Kerinci Legenda Sutan Kalimbuk

27 Desember 2022   21:53 Diperbarui: 27 Desember 2022   22:02 1379
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

LEGENDA SUTAN KALIMBUK

Oleh : Zarmoni

Cerita Rakyat ini telah di ikut sertakan dalam Lomba Mengarang Cerita Rakyat Kerinci dan memperoleh Juara I yang diadakan oleh Dinas Pariwisata Kabupaten Kerinci Tahun Anggaran 2022

Pelipur Lara sebelum tidur, Hikayat/Legenda Dari Tanah Siulak Kerinci yang disusun sedemikian rupa menurut bahasa pengarang, kebijakan pembaca sangat dibutuhkan.

Sumber : Alm. Abu Rahim (Gaek Gdang Napal Takuk), Alm. Abu Seman (Rio Mudo Pangapit), Alm. Mat Salim (Pak Har Serujung), Alm. Jamanan (Siulak Gedang)

Seorang ayah yang gagah perkasa tampak sedang mengajari anaknya pencak silat, ayah yang berbadan tinggi besar itu tegak seraya menyilangkan tangannya di dada sambil manggut-manggut. "Hei Batinting, mari kesini nak..!" seru lelaki tersebut kepada anaknya yang berusia sekitar lima belas tahun. Remaja yang gagah perkasa tersebut menghentikan latihannya, ia lalu berjalan menghampiri sang ayah.

"Bagaimana dengan latihanku tadi ayah?" tanya Batinting kepada ayahnya.

"Sempurna...! nanti kamu akan ayah antar kepada kakekmu yang bernama Ayam Klino untuk menyempurnakan kebatinanmu..!" ujar sang Ayah seraya menepuk bahu anaknya.

Batinting manggut-manggut seraya berlalu menuju rumah diba

Dokpri. Penulis Cerita Rakyat Kerinci
Dokpri. Penulis Cerita Rakyat Kerinci "Sutan Kalimbuk" mendapat Juara I dari Dinas Pariwisata Kab. Kerinci Tahun 2022
wah pohon besar ditengah hutan belantara yang bernama Bukit Tambun Tulang. Rumah ayahnya ini beratapkan rambut manusia, bertiangkan tulang manusia, dan berdinding kulit manusia. Beliau bernama Bruk Panjagungan seorang Kepala Penyamun di tengah hutan dengan anak buahnya yang banyak. Dirumah tersebut ada seorang wanita, ibu dari Batinting yang bernama Rikno Intan yang merupakan wanita yang mempunyai ilmu kebathinan tinggi seperti suaminya.

Bukit Tambun Tulang merupakan sebuah bukit sarang penyamun Bruk Panjagungan dengan anak buahnya merampok orang-orang yang lewat, tak segan-segan mereka membunuh lawannya, sehingga dibukit tersebut menumpuk tulang belulang manusia. Bruk Panjagungan berasal dari Pagaruyung Minang Kabau.

Jauh sedikit kehilir, ada sebuah gunung kecil bernama Gunung Bungkuk, disanalah tempat tinggal seorang pertapa tua yang bernama Ayam Klino, seorang jawara yang telah uzur dengan ilmu kebathinannya yang tinggi.

Pada suatu malam jum'at kliwon, Bruk Panjagungan membawa anak buahnya untuk mengantar Batinting ke Gunung Bungkuk. Jalan yang mereka lewati merupakan hutan lebat yang berkabut, kayu-kayu besar, semak belukar, serta suara-suara binatang buas dan desisan ular besar menghiasi pendengaran mereka. Dengan ilmu dan tenaganya yang kuat, Batinting senantiasa dapat mengalahkan binatang buas yang mengganggu, seperti Cigau (Harimau besar berambut panjang mirip singa), Ular besar, dan Gajah yang menghalangi mereka dapat dikalahkan oleh Batinting. Namun ketika melawan makhluk tak kasat mata seperti Mambang, Siluman, dan Dewa-Dewa, Batinting sangat kewalahan, sehingga Bruk Panjagungan terpaksa turun tangan.

"Itulah sebabnya Batinting, kamu Ayah hantar kepada Kakek Ayam Klino, agar beliau mengajarkanmu ilmu kebathinan. Setelah kau selesai dengan kebathinanmu, tiada yang mampu mengalahkanmu..!" ujar Bruk Panjagungan kepada anaknya.

"Baik Ayah... aku akan belajar dengan baik dan patuh sesuai arahanmu, setelah tamat nanti aku akan menantangmu untuk berduel denganku... akan aku rebut Bukit Tambun Tulang untukku sendiri..!" jawab Batinting dengan semangat seraya menatap wajah ayahnya.

"Ha..ha..ha... buktikan nanti wahai anakku... aku sangat suka jikalau engkau mampu mengalahkanku..!" tawa Bruk Panjagungan begitu lepas mendengar kata-kata anaknya yang ambisius.

Tiada terasa, sekitar jam sepuluh malam itu, mereka sampai dikaki Gunung Bungkuk, obor yang dibawa anak buah Bruk Panjagungan mereka letakkan dipinggiran sungai, mereka membasuh muka dan membersihkan badan. Lalu Batinting disuruh oleh ayahnya mandi balimau yang mereka bawa. 

Setelah Batinting mandi, kabut tebal serta udara malam yang dingin menambah seramnya malam itu. Lalu Bruk Panjagungan mengeluarkan alat sirih dan membuat sesajian dikaki Gunung Bungkuk, lalu seraya membakar kemenyan, mulutnya komat-kamit melantunkan mantera. 

Sementara itu Batinting disuruh duduk bersila diatas batu besar seraya bersemedi. Setelah asap kemenyan membumbung tinggi keangkasa sampai kepuncak gunung Bungkuk, Bruk Panjagungan melemparkan kembang sembilan macam ketubuh Batinting. Tak lama kemudian dari puncak Gunung Bungkuk tampak bola api yang melayang kebawah hingga sampai kepada Bruk Panjagungan. Rupanya, bola api tersebut merupakan kepala manusia yang menyeramkan dengan mata yang menyala, kepala tersebut bersuara "Hai Bruk Panjagungan, apa yang membuatmu memanggilku..?" ujar kepala Ayam Klino seraya menatap Bruk Panjagungan.

"Ampun beribu kali ampun, tabik bapuluh kali tabik wahai Ayahanda Tuan Guru Ayam Klino... Sio datang memanggil tuan karena ada suatu maksud yang hendak disampaikan, mohon Tuan Guru berkenan mengabulkannya..!" ujar Bruk Panjagungan seraya menghaturkan sembah sujud. Lalu bola api tersebut menjelma menjadi sesosok orang tua yang berpakaian serba hitam dengan badan sedikit bungkuk.

"Katakanlah maksudmu wahai Bruk Panjagungan..!" titah Ayam Klino.

"Ampun Tuan Guru, ini cucumu Batinting, akan kuserahkan untuk menjadi muridmu, bimbinglah ia sebagaimana engkau membimbingku, ajarilah ia agar menjadi sakti mandraguna, sehingga tak seorangpun mampu mengalahkannya..!" ujar Bruk Panjagungan seraya menoleh kepada Batinting yang khusuk bersemedi diatas batu besar. 

Ayam Klino menoleh menatap Batinting yang khusuk seraya tersenyum "Baiklah Bruk Panjagungan, dua tahun lagi jemputlah anakmu kesini, aku akan memberikan seluruh ilmuku untuknya, ia telah tertulis untuk menjadi pemimpin Hulubalang, dan akan menjadi Raja yang kuat dinegeri Antau Kabun-Kabun nantinya..!" setelah berkata demikian, Ayam Klino memegang bahu Batinting lalu melesat keatas puncak Gunung Bungkuk yang banyak ditumbuhi kayu besar dan penuh kabut.

Dipuncak Gunung Bungkuk, Batinting dengan serius mengikuti latihan kebathinan yang diajarkan oleh Ayam Klino, ia tak pernah mengeluh, siang malam ia menempa kebathinannya mengharap Sang Hyang Widi atau pencipta langit dan bumi memberinya sugesti, ia sengaja memilih senjata sebuah sumpit beracun yang sakti, sering ia menyumpit ular, burung, bahkan gajah yang langsung mati seketika tatkala terkena sumpitannya. Akhirnya ia bertapa dibawah pohon besar dalam waktu yang cukup lama hingga tubuhnya telah ditumbuhi oleh lumut dan seekor burung Limbuk Putih bertengger diatas kepalanya dan membuat sarang disana.

Tidak terasa waktu berlalu musim berganti tahun berubah, tibalah saatnya Bruk Panjagungan menjemput Batinting di Gunung Bungkuk. Ia datang pada malam jum'at kliwon kala itu, ia datang bersama anak buahnya dan dua orang gadis kecil adik batinting yang bernama Kemuning yang berusia sepuluh tahun, dan Sleh Itam yang berusia delapan tahun. Setelah melakukan ritual seperti sebelumnya, lalu turunlah sebuah cahaya menuju Bruk Panjagungan, lalu menjelma seorang kakek tua Ayam Klino.

"Wahai Bruk Panjagungan, tibalah saatnya kau membangunkan Batinting, pagi besok naiklah keatas Gunung Bungkuk, bangunkan anakmu, ia telah berubah menjadi seorang kesatria sakti, bahkan akupun tak bisa membangunkannya, ia telah lebih sakti dari pada aku..!" ujar Ayam Klino seraya menatap dua orang gadis kecil bersama Bruk Panjagungan.

"Astaga... kalau begitu terpaksa kami naik pagi besok Tuan guru... namun sebelumnya ampun beribu kali ampun, Sio ingin bertanya tentang kedua anak gadis Sio kepada Guru, bolehkah..?" ujar Bruk Panjagungan seraya bersimpuh dihadapan Ayam Klino bersama kedua putrinya.

"Cukup... kedua anak gadismu ini tidak kuterima sebagai murid..! biarkan ia mengikuti Batinting, mengembara untuk membuka wilayah baru nantinya..!" ujar Ayam Klino seraya mukso dari hadapan mereka.

Pagi menjelma, Bruk Panjagungan beserta kedua puterinya mendaki Gunung Bungkuk dengan hati-hati, akhirnya setelah bersusah payah, sampailah mereka diatas puncak gunung Bungkuk. Puncak Gunung Bungkuk begitu bersih, disana ada sebuah gubuk reot yang dihuni oleh Ayam Klino. Ayam Klino menghampiri mereka dengan takzim, "Wahai anak gadis mari masuk kegubuk kakek, kita makan ubi rebus dan pisang bakar..!" seru Ayam Klino tersenyum. Kedua anak Bruk Panjagungan berlari menuju gubuk sang kakek.

"Wahai guru, dimanakah anakku Batinting bersemedi?" Bruk Panjagungan sudah tak sabar untuk bertemu anaknya.

"Coba kau cari dibawah kayu besar itu..!" tunjuk Ayam Klino kepada sebatang pohon besar.

Dengan hati-hati, Bruk Panjagungan menuju kayu tersebut, namun alangkah kagetnya dia, disana ada sebuah gundukkan kecil dipenuhi lumut, diatasnya ada seekor burung Limbuk Putih yang bersarang menatapnya dengan marah, sementara seekor ular besar melilit gundukkan itu. Dengan kebathinannya yang tingkat Dewa, Bruk panjagungan mengucapkan mantera dan menciprakkan air putih yang sudah dimanterai tadi keatas gundukkan tersebut, tetapi burung Limbuk Putih menyerangnya, ia kewalahan melawan serangan Burung Limbuk Putih, akhirnya ia berlari kedalam gubuk Ayam Klino.

"Ha..ha..ha.. ketahuilah Bruk Panjagungan, selagi Burung itu hidup, anakmu tak akan terkalahkan, karena semua ilmunya disimpan oleh Burung Limbuk Putih tersebut. Aku pun tak mampu membangunkan anakmu dari kemarin..!" tawa Ayam Klino melihat Bruk Panjagungan kelelahan menghadapi Burung Limbuk Putih tersebut.

"Lalu siapa yang bisa membangunkannya wahai Guru..?" ujar Bruk Panjagungan seraya mengatur nafasnya.

"Ambil sehelai sirih dan sebuah pinang, kau minta tolong kepada kedua putrimu ini..!" sahut Ayam klino seraya meminum air kahwa dari cangkir bambunya.

"Apa..??? minta tolong pada putriku sendiri..??? tidak mungkin wahai Guru..!" Bruk Panjagungan terkejut mendengar kata Gurunya.

"Bruk... kau tak tahu anakmu itu siapa.. si Kemuning kelak akan menjadi Ratu Kuning, ia akan menjadi leluhur suatu masyarakat disekitar Lubuk Pirung Bulan... dan Sleh Itam, ia kelak akan menjadi Cenayang dikerajaan Batinting yang melahirkan pendekar hebat, cepat kau lakukan, ini perintahku..!" Ujar Ayam Klino dengan matanya yang menyala merah.

Akhirnya setelah memberikan sirih kepada Kemuning dan Sleh Itam, kedua puterinya berjalan menuju gundukkan lumut yang dijaga ular dan burung putih tadi. Dengan takzim, kedua beradik itu duduk bersimpuh menghadap gundukkan lumut seraya meletakkan sirih dan membakar kemenyan. Lalu mereka "menyeru" sang Kakak dengan menghamburkan beras kunyik kegundukkan tanah tersebut. Aneh bin ajaib, gunfukkan tadi bergerak disertai dengan jeritan ular besar yang dicekik oleh tangan yang keluar dari gundukkan itu, rupanya Batinting sudah terjaga, matanya merah menyala dengan mulut terbuka mengoyak ular besar tersebut dan memakannya dengan lahap. Lalu terdengar pekikan burung putih keangkasa dengan disertai runtuhnya lumut dari tubuh Batinting.

Dengan limau yang dibawa oleh adiknya, Batinting membersihkan diri dikaki gunung Bungkuk, sementara ayahnya hanya menyaksikan dari atas tebing. Setelah Batinting mandi ia naik keatas tebing, dan langsung diserang oleh ayahnya. Keduanya bertarung selama tiga hari tiga malam tiada yang menang dan tiada yang kalah. Ayahnya menyabetkan senjatanya yang terkenal Keris Btoi Arang, kepala Batinting terpenggal, namun ketika Burung Putih berbunyi kepala tersebut menyatu kembali dengan badannya, sungguh pemandangan yang mengerikan. Pernah Bruk Panjagungan menghimpitnya dengan batu, namun Batinting tidak terluka dan malah semakin kuat, akhirnya dengan mengeluarkan sumpit saktinya ia menyumpit kaki ayahnya yang membuat Bruk Panjagungan pingsan.

Dengan restu Ayah Bundanya, Batinting dan kedua adiknya Kemuning beserta Sleh Itam berangkat mengembara  menuju Lubuk Pirung Bulan dibawah lembah. Mereka berjalan beriringan mendaki bukit menuruni lembah yang gelap karena pepohonan yang banyak serta kabut tebal yang membuat perjalanan mereka kadang terhalang. Banyak sekali gangguan dari makhluk tak kasat mata berupa Dewa-dewi, Mambang, serta Jin, namun semuanya lari tunggang langgang menghadapi Batinting. Belum lagi Gajah, Kerbau Jalang, Cigau, semuanya cukup mengganggu perjalanan mereka. Namun semuanya hanya gangguan kecil bagi seorang pendekar yang mumpuni seperti Batinting.

Akhirnya setelah berbulan lamanya menempuh hutan dan belukar yang tebal, tibalah mereka dipinggiran sebuah sungai besar yang bernama Lubuk Pirung Bulan (sekitar Koto Aro-Siulak). Mereka membangun sebuah rumah yang besar disana, sedangkan diatas bubungan rumahnya dibuatlah sarang untuk Burung Limbuk Putih yang diberi nama "Burung Sabti Alo".

Dengan kesaktiannya yang mumpuni, Batinting mengumpulkan emas dan perak dari perut bumi. Perhiasannya dirumah banyak yang berasal dari emas dan perak, sedangkan pasir untuk menghiasi halamannya adalah pasir dan kerikil emas yang berkilauan, ia telah berubah menjadi Tuan Tanah yang kaya raya di negeri yang dibut namanya Antau Kabun-Kabun, karena negeri itu banyak pohon besar dan senantiasa dipenuhi oleh kabut tebal.

Setelah kurun waktu berlalu, orang-orang sudah banyak yang datang untuk berladang disekitarnya, bahkan Batinting sudah memiliki beberapa orang anak buah yang bertugas mengembalakan ratusan kerbau miliknya. Kerbau Jalang yang ditangkap oleh Batinting digembalakan oleh masyarakat yang belum seberapa saat itu.

Menelusuri arah kehilir Lubuk Pirung Bulan, mulai banyak orang-orang berladang dan berplak, seperti di Ujung Tanjung Malako Kecik (Koto Beringin-Siulak), dan Padang Jambu Alo (Siulak Gedang). Orang sudah mulai menggarap tanah untuk bercocok tanam padi dan jagung, dan negeri ini berubah nama menjadi Talang Jauh.

Karena setiap hari Batinting selalu bermain dengan sumpit dan burung limbuk putihnya yang bernama Sabti Alo, ia berubah nama Tuanku Sutan Kalimbuk. Ia sering mengembara kearah selatan dan beradu kesaktian dengan para penyamun dan pendekar lainnya, namun tidak ada seorangpun yang dapat mengalahkannya. Diselatan, ia terkenal dengan nama Batinting. Ia memiliki Delapan orang anak dari tiga isteri. Siti Manguak ialah isterinya yang berasal dari Pagaruyung, Au Biah isterinya di Talang Jauh, dan Barmiyah isterinya di Bukit Batuah.

Dari isterinya Au Biah ini nantinya akan lahir keturunannya anak cucunya yang bergelar Silita Kunin.

Di arah guguk rendah belakang Ujung Tanjung Malako Kecik, berkebunlah seorang pemuda bernama Jagung Tuo dan adiknya Rajo Bujang (yang kemudian hari berganti nama Bujang Agung dan Bujang Palembang). Mereka menanam Jagung yang cukup banyak.

Suatu waktu, sekawanan kerbau Sutan Kalimbuk memakan tanaman si Jagung Tuo. Jagung Tuo marah-marah dan bertanya kepada orang-orang yang ada disana, kerbau siapa yang memakan jagungnya. Akhirnya Jagung Tuo mendapat jawaban bahwa yang memakan jagungnya adalah kerbau Sutan Kalimbuk.

"Hai "Kaban" siapakah yang mempunyai kerbau-kerbau itu..?" tanya jagung Tuo didampingi Rajo Bujang kepada Sutan Kalimbuk.

"Saya nggak tau wahai Kaban.. tanya saja sama kerbau..!" jawab Sutan Kalimbuk seraya memainkan suling yang sekaligus senjata sumpitnya.

"Kaban, kerbau itu akan saya bunuh karena telah memakan jagung kakak saya..!" Rajo Bujang langsung mencekik leher kerbau tersebut. Sutan kalimbuk marah dan memaki-maki Rajo Bujang. Ia mau menyumpit Rajo Bujang, namun Rajo Bujang dapat mengelak beberapa sumpitan itu. Dengan kebathinanya Sutan Kalimbuk dapat melihat bahwa Rajo Bujang ini memiliki ilmu digdaya  yang hebat juga.

Akhirnya Sutan Kalimbuk berdamai dengan jagung tuo dan berjanji akan menyelesaikan masalah mereka secara kekeluargaan.

Sutan Kalimbuk segan terhadap Jagung Tuo yang berwibawa dan kharismatik. Namun ia juga malas berselisih dengan Rajo Bujang si pendekar pengembara yang telah banyak menempuh segala cobaan dan godaan duniawi.

Seringkali, beberapa orang pendekar yang lewat di Talang Jauh ini berantam dan beradu kesaktian dengan Sutan Kalimbuk namun mereka kalah dan dijadikan budak gembala oleh Sutan Kalimbuk. Namun ada seseorang kesatria yang bergelar Pri Indarjati yang berduel dengan Sutan Kalimbuk namun mereka seri, tetapi Pri Indarjati tetap takluk menjadi sahabat Sutan Kalimbuk.

Pada suatu musim jagung berikutnya, kerbau Sutan Kalimbuk kembali bikin onar. Kali ini yang dimangsa adalah tanaman jagung milik pendekar sakti bernama Demong Sakti asal dari Palimbang (Manjunto).

Demong Sakti begitu murka. Ia mendatangi Sutan Kalimbuk didekat kebun jagungnya "Hai Kaban, kerbau siapakah ini?" tanya Demong Sakti gusar.

"Ya Kaban, ini kerbau saya, emang kenapa sih?" tanya Sutan Kalimbuk cuek.

"Kerbau Kaban telah merusak dan memakan tanaman jagung saya Kaban. Bagaimana ini..?" Jawab Demong Sakti yang bertubuh kekar dan besar itu.

"Ah, tidak mungkin lah Kaban, kerbau saya baik sekali perangainya..! yakinlah itu Kaban, bukan kerbau saya itu..!" Jawab Sutan Kalimbuk membela diri.

"Baiklah Kaban, jika besok saya jumpai kerbau siapa saja memakan tanaman saya akan saya bunuh kerbau itu..!" sahut Demong Sakti seraya berlalu.

Tak dapat dipungkiri, bahwa Demong Sakti sangatlah Keramat dan Sakti Mandraguna. Ia pernah menghalau kawanan gajah yang mengganggu Kerajaan Kerinci Hulu dan membanting gajah dengan kekuatan supernya.

Keesokan harinya, Demong Sakti bekerja disawahnya. Namun tiba-tiba datang seekor kerbau besar memakan tanaman jagungnya. Dengan kemarahan besar ia berlari kesana dan membanting kerbau tersebut hingga tewas. Sutan Kalimbuk yang menyaksikan itu marah.

"Hei Kaban, knapa kau bunuh kerbau besar itu hah..?" teriak Sutan Kalimbuk. Demong Sakti menoleh.

"Hei Kaban, knapa kau marah pula hah? Bukankah kemaren kau bilang kerbaumu kelakuannya sangat baik? kerbau ini telah memakan tanamanku, lagian kau bilang itu bukan kerbaumu kemaren kan..?" jawab Demong Sakti beringas.

"Kurang ajar kau kaban, kusumpit kau nanti tahu rasa kau..!" teriak Sutan Kalimbuk seraya mengeluarkan sumpitnya.

"Bangsat,...!" hardik Demong Sakti, "Coba kau sumpit ini kalau memang kau jagoan..!" Demong sakti menungging mengacungkan bokongnya kearah Sutan Kalimbuk. Sutan Kalimbuk murka ia menyumpit bokong Demong Sakti berkali-kali, kiranya sumpitan beracun itu membuat Demong Sakti terjerambab dan meninggal seketika. Jasadnya menghadap ketimur, maka orang-orang membangun makamnya menghadap ketimur arah kematiannya.

Rupanya, berita kematian Demong sakti sampai hingga ke negeri palimbang (Manjunto) yang membuat dendam adik Demong Sakti. Ia mengambil sumpitnya dan bertekad akan mengadu sumpitnya dengan Sutan Kalimbuk. Demong yang berenam beradik turun gelanggang menyerang Negeri Talang Jauh, namun kesaktian Sutan Kalimbuk sangatlah tinggi sehingga mereka kewalahan bahkan hampir kalah. Tujuh hari tujuh malam perang kesaktian terus terjadi, namun Demong yang tinggal berlima orang benar-benar prustasi melihat kenyataannya.

Akhirnya berundinglah Demong lima beradik dengan Rajo Bulang, mereka mengatur taktik, taktik pertama Demong Pingit berpacaran dengan Sleh Itam adik dari Sutan Kalimbuk, akhirnya Sleh Itam dibawa kabur oleh Demong Pingit yang membuat Sutan Kalimbuk Murka.

Dengan jumawanya, Sutan Kalimbuk membantai anak buah para Demong dan sampai di Ujung Tanjung Malako Kecik (Koto Beringin Siulak), namun kali ini ia terdesak mundur oleh Demong yang dibantu Rajo Bujang hingga kepinggiran Lubuk Pirung Bulan. Bersusah payah para Demong menghantam Sutan Kalimbuk, namun setiap ia terbunuh dan hinggap ditanah, ia hidup kembali dan kekuatannya makin bertambah. Malam itu, semuanya beristirahat setelah perang yang menghabiskan ratusan nyawa, dan sawah serta ladang yang hancur. Para Demong dan Bujang Palimbang duduk berdiskusi tentang Sutan Kalimbuk yang tak kenal mampus. Jagung Tuo masuk menghampiri Demong dan Rajo Bujang, "Wahai adik-adikku, aku mendapatkan bisikan, bahwa Sutan Kalimbuk alias Batinting Bin Bruk Panjagungan, akan mati apabila Burung Sabti Alo dibunuh, yaitu burung yang bertengger diatas atap rumah Sutan Kalimbuk..!" ujar Jagung Tuo seraya mengusap janggutnya yang memutih. (Kisah Jagung Tuo dan adiknya Rajo Bujang ini dapat dibaca dalam cerita Legenda dari Lurah Jagung).

Malam itu juga, karena semua orang telah lelah, Demong Sunsang membawa sumpit saktinya mengendap-endap kebelakang rumah Sutan Kalimbuk, ia menunggu Burung Sabti Alo menampakkan wujudnya, akhirnya dengan izin Yang Maha Kuasa, Burung Limbuk Putih itu muncul dijendela yang terbuka, karena setiap tengah malam Sutan Kalimbuk bersemedi dihadapan Burung Saktinya.

Dengan sekali sumpitan, Burung Sabti Alo terbunuh dipangkuan Sutan Kalimbuk yang bersemedi. Tubuhnya menggigil ketakutan, wajahnya pucat pasi.

Sebagai seorang pemuda sakti, Sutan Kalimbuk tahu bahwa adik Demong Sakti yang membuat ulah, besok ia akan mati ditikam keris Rajo Bujang jika ia tidak menyelamatkan diri. Lalu dengan membawa satu ekor kerbau dan seekor ayam jantan hitam  Sutan kalimbuk meninggalkan negeri Talang Jauh dan berjalan melewati Padun Gelanggang, menuju Ranah Jiluai, dengan kesaktiannya, emas yang banyak ia tenggelamkan disebuah sungai hingga sungai itu berubah gelar menjadi "Sungai Beremas", dan perak yang banyak ia taburkan disebuah sungai lagi hingga sungai tersebut berganti nama menjadi "Sungai Pirak". Hingga ia tiba di Renah Jiluwai, ia mukso / ghaib bersama kerbau dan ayamnya.

Misteri yang beredar dimasyarakat ialah, apabila hari baik bulan baik datang, dari arah Ranah Jiluwai akan terdengar suara Gong, kerbau dan kokok  ayam Sutan Kalimbuk yang hilang secara ghaib.

Adik Demong Sakti kecewa, karena Sutan Kalimbuk telah mengghaib dan lenyap tak tentu di mana rimbanya. Hingga para Demong berklaborasi dengan Rajo Bujang membuka wilayah baru dengan membuat Plak Panjang/ Kebun yang memanjang di daratan sungai Batang Merao. Saat ini dizaman kedepatian, negeri tersebut telah berganti nama menjadi Negeri Padang Jambu Alo. Siulak mengalami perubahan nama dimulai dari Antau Kabun-Kabun, kemudian Talang Jauh (zaman ini belum masuknya Islam ke Kerinci, masih animisme), dan terakhir Padang Jambu Alo.

Makam Sutan Kalimbuk ada dua, ada di Desa Koto Aro Siulak, dan di renah Jiluwai dekat Transimigrasi Sungai Beremas.

Dari Kisah ini dapat kita petik pembelajaran Bahwa kesaktian dan karomah yang dimiliki haruslah membuat kita tetap rendah hati dan membantu sesama, karena hidup tidaklah abadi, apabila Yang Maha Kuasa berkehendak, kesaktian yang kita miliki akan lenyap seketika.

Wallahualam Bisshawab

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun