Kubuka pintu depan. Kucoba telusuri ruang tamu dengan berbekal cahaya dari layar handphone. Kupanggil-panggil Mas Arif, namun tak ada jawaban.
Seketika ada cahaya lilin menghampiri. Dalam keremangan kudapati wajah Mas Arif yang tengah tersenyum. Ia mengenakan kaos hijau lumut yang kuberikan tadi malam. Tangannya membawa kue tart yang berhiaskan lilin bertuliskan angka 28.
“Makasih telah melengkapi hidup Mas. Ini ulang tahun terindah Mas karena telah didampingi istri sepertimu. Maukan menemani Mas rayakan hari lahir?” tanyanya.
Kusambut pertanyaannya dengan anggukan. Tanpa diduga ia mengecup kening ku. “I do love you!” ucap Mas Arif.
Ia membawaku ke ruang makan. Ternyata di atas meja makan sudah tersaji menu-menu kesukaanku. Dari cara menyajikan, dari warna kekentalan bumbu, aku tahu masakan yang tersaji ini hasil karyanya.
“Maaf jika selama ini Mas tak pandai mengungkapkan perasaan sayang ini. Tapi percayalah Mas sangat mencintaimu, de!”
Tak berapa lama Mas Arif membuka agenda coklat miliknya. Ia membuka lembar demi lembar kertas agenda. Sampai pada akhirnya tangannya berhenti pada halaman yang menunjukkan hari pernikahan kami. Di sana tergores dengan jelas tulisan tanganku.
“Sejak pertama kali ade menuliskan ini, sampai sekarang dua bulan pernikahan kita, Mas selalu berusaha mengingat pesan Ade dengan senantiasa membacanya. Harapan Mas, Mas bisa menjadi seperti impian Ade. Maaf bila selama ini Mas belum mampu. Tapi Mas akan belajar!” Mas Arif berusaha meyakinkanku.
Aku sudah tak lagi mampu berucap sepatah katapun. Perasaan haru menyeruak hingga air mata terus membasahi pipi. Isak tangis pun tak dapat lagi kutahan.
Kuraih agenda dari tangan Mas Arif. Kubaca dengan seksama tulisanku itu.
“Kita ibarat kutub Utara dan Selatan. Kita harus sama-sama berjuang mengejar titik keseimbangan kita dengan sama-sama melangkah ke titik tengah. Bukan salah satu diantara kita yang mengejar titik Utara ataupun Selatan, hanya sekedar untuk menyatu. Perjuangan ini terasa berat jika kita tak saling memahami dan bekerjasama.”