Jika kita ringkas, ujaran mama tua itu begini: stop bikin janji yang tidak bisa kamu realisasikan! Itu satu tarikan nafas dengan yang Yesus ucapkan di atas: "...yang lebih dari pada itu berasal dari si jahat."
Tentu saja kita tidak ingin para caleg kita menjadi jahat atau berasal dari si jahat, tetapi potensi mereka bisa, dan sudah terbukti, ingkar janji. Waktu nyaleg kasih angin surga kepada setiap orang yang mereka jumpai, setelah terpilih semuanya lewat begitu saja seperti orang buang angin.
Ajaran Yesus ini menjadi pegangan bagi Santo Thomas More, orang kudus yang menjadi pelindung negarawan dan politisi.
Meskipun dihimpit oleh berbagai bentuk tekanan psikologis, Santo Thomas More menolak untuk berkompromi, tidak pernah meninggalkan "kesetiaan yang konstan pada otoritas dan lembaga-lembaga yang sah" yang membeda-bedakannya; ia telah mengajarkan melalui hidup dan kematiannya bahwa "manusia tidak dapat dipisahkan dari Tuhan, atau para politisi tidak dapat dipisahkan dari moralitas." (Kongregasi Ajaran Iman: Peran Serta Umat Katolik Di Dalam Kehidupan Politik, 2022)
Setiap caleg mestinya menyadari hal ini dan sedia mempraktekannya di dalam pentas politik. Â Secara praktis, sebagaimana yang akrab kita jumpai di lapangan, hendaklah setiap janji yang terucap dari mulut para caleg itu dapat dibuktikan melalui tindakan konkret.
Ada tugas etis yang melekat pada diri setiap caleg untuk mengucapkan kebenaran, untuk bertanggung jawab atas tugas yang diemban. Itu makanya, penting sekali supaya setiap ucapan itu dikaji dan dipikirkan matang-matang agar kelak bisa dipertanggungjawabkan. Jangan ngasal!
Berkaca dari cerita-cerita yang beredar di kalangan akar rumput, di sudut-sudut kampung, yang ramai menjelang pileg tetapi sepi setelah caleg terpilih dan dilantik, ada banyak sekali janji-janji politik yang terlontar dari para caleg, terutama yang muda-muda, tidak pernah direalisasikan.
"Mereka kasih bodoh kami, anak!" kata salah seorang mama tua. "Ada yang sampai sekarang tidak pernah datang ke sini, padahal dulu kami semua pilih dia," yang lain menimpali. "Kami belajar dari kesalahan kemarin, besok-besok kami tidak mau pilih lagi," ucapan bernada ketus dari seorang pemuda yang sangat lusuh.
Tentu saja para caleg itu akan mengeluarkan jurus andalan bahwa dalam politik kami tidak bisa menyenangkan hati semua orang. Kami tidak bisa memuaskan semua pihak. Tentu saja para caleg itu bisa berkata bahwa politik itu abu-abu bukan hitam putih.
Tetapi bagaimana kalau semua pihak itu justru merasakan hal yang sama yakni sama-sama diberikan harapan palsu oleh sang caleg? Itu sebabnya, ajaran Yesus menjadi relevan: Jika ya katakan ya, tidak katakan tidak, selebihnya berasal dari si jahat.
Saya tidak memungkiri bahwa politik memang kadang-kadang "abu-abu" tetapi itu tidak menjustifikasi kebohongan demi kebohongan yang dilakukan secara sadar dan membabi buta. Menjadi caleg memang hak politik seseorang, tetapi di dalamnya sekaligus dibebani tugas untuk memenuhi hak para pemilih. Kalau janji tidak dipenuhi, maka secara etis si caleg tadi sudah merampas apa yang menjadi hak konstituen tersebut. Ini jahat!