Mohon tunggu...
Arianto Zany Namang
Arianto Zany Namang Mohon Tunggu... Penulis - penulis

menulis untuk mengisi hati

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Gaung Kebencian Butet di Bulan Bung Karno

27 Juni 2023   06:38 Diperbarui: 27 Juni 2023   06:49 414
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bung Karno adalah bapak bangsa, seorang proklamator yang hampir seluruh hidupnya dipersembahkan bagi bangsa dan negara. Kalau mau diringkas, seluruh riwayat hidup Bung Karno sejak lahir hingga masuk ke dalam liang lahat, adalah upaya untuk mempersatukan Indonesia dengan segala kepentingannya. Karena jasanya itu wajar jika beliau dikenang dan dirayakan. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan bahkan menjadikan bulan Juni sebagai bulan Bung Karno untuk mengenang peristiwa hidup tokoh proklamator yang pernah diasingkan di Ende, Flores, itu.

Tahun 2023 haul Bung Karno dirayakan pada tanggal 24 Juni di Gelora Bung Karno, Jakarta. GBK berubah menjadi lautan manusia berbaju merah, ada juga yang berbaju hitam seperti Pak Jokowi dan yang lainnya. Tetapi warna merah menjadi begitu dominan.

Yang mencolok perhatian saya, dan juga orang-orang kebanyakan saya kira, adalah hadirnya budayawan senior Butet Kertaredjasa membawakan puisi bernada sumbang. Mengapa bernada sumbang? Karena liriknya bertolak belakang dengan sejatinya sikap dan pandangan hidup Bung Karno yang haulnya sedang dirayakan oleh bangsa Indonesia.

Ironinya adalah di perayaan tentang persatuan Indonesia ini, muncul sosok budayawan salon seperti Butet yang membacakan puisi yang sama sekali bertentangan dengan spirit persatuan Bung Karno. Memang, bulan Bung Karno tahun 2023 ini bertepatan dengan tahun politik, tetapi tidak seharusnya dan tidak patut momen prestisius itu "disabotase" dengan kepentingan pribadi untuk menyerang Anies Baswedan dan Prabowo Subianto.

"Di sini semangat meneruskan,
di sana maunya perubahan
Oh, begitulah sebuah persaingan"

"Di sini nyebutnya banjir
Di sana nyebutnya air yang markir.
Ya, begitulah kalau otaknya pandir"

"Pepes ikan dengan sambel terong
semakin nikmat tambah daging empal
Orangnya diteropong KPK karena nyolong
Eh, lha, kok koar-koar mau dijegal"

"Jagoan Pak Jokowi rambutnya putih
gigih bekerja sampai jungkir balik
Hati seluruh rakyat Indonesia pasti
akan sedih jika kelak ada presiden hobinya kok menculik"

"Cucu komodo mengkeret jadi kadal
tak lezat digulai biarpun pakai santan
Kalau pemimpin modalnya cuman transaksional,
dijamin bukan tauladan kelas negarawan"

Saya kira puisi Butet itu melukai banyak pihak, antara lain:

Pertama, yang koyak-koyak oleh Butet bukanlah sosok Anies dan Prabowo tetapi persatuan Indonesia yang setiap hari diperjuangkan. Persatuan Indonesia adalah suatu konsep yang sangat ringkih, gampang pecah dan teserak, itu sebabnya Bung Karno dan para pendiri bangsa hingga presiden Jokowi selalu berupaya untuk menjaga persatuan. Puisi itu berdaya destruktif, bisa membelah persatuan bangsa, menyebabkan polarisasi dan segregasi.

Kedua, Butet melukai hati Ketua Umum PDI-P Megawati Sukarnoputri yang pada 2009 lalu maju bersama dengan Prabowo sebagai capres dan cawapres. Ibu Mega adalah anak biologis sekaligus anak ideologis Bung Karno yang sejak dulu selalu mengedepankan pentingnya persatuan.

Ketiga, Butet melukai hati Pak Jokowi yang mengangkat Prabowo sebagai Menteri Pertahanan untuk periode 2019-2024. Pak Jokowi tidak melihat sosok Prabowo sebagai seorang "penculik" justru sebagai seorang nasionalis tulen yang loyal kepada bangsa dan negara. Saya tidak melihat ada ekspresi gembira dari raut wajah Pak Jokowi setelah mendengar nada sumbang Butet.

Keempat, pernyataan Butet bersifat sangat insinuatif yang berpotensi memicu pembelahan yang sangat tajam antara pendukung Ganjar, Anies, dan Prabowo.

Inilah bahayanya jika seni ditunggangi oleh politik yang tidak saja mendegradasi makna seni tetapi berpotensi merusak rasa persatuan dan kesatuan kita sebagai bangsa yang plural.

Seperti kita ketahui hidup Bung Karno didedikasikan untuk mempersatukan Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Ia begitu terobsesi dengan persatuan sedemikian sehingga berupaya untuk menyatukan nasionalisme, agama dan komunisme alias nasakom yang membuat ia akhirnya lengser dari kursi kekuasaan.

Terlepas dari konsep tersebut yang hingga sekarang tidak pernah terwujud, sosok Bung Karno adalah 'orang besar' milik bangsa ini yang membuat kita semua bisa hidup sebagai satu bangsa yakni bangsa Indonesia. 

Ketika kita merayakan bulan Bung Karno yang jatuh pada bulan Juni, kita tidak sedang memperingati hari lahir dan wafatnya Bung Karno, tetapi merayakan seluruh peristiwa hidupnya yang berhasil membuat Indonesia ada sebagai negara kesatuan. Seharusnya haul Bung Karno kita jadikan sebagai kesempatan untuk mempertebal rasa kebangsaan, bukan malah menggaungkan kebencian yang merusak kebhinekaan. 

Meskipun saya tak setuju dengan pandangan Butet Kertaredjasa, saya tetap menghormati beliau sebagai seorang budayawan besar. Butet, meminjam penilaian Prabowo Subianto, "orangnya lucu."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun