Author       : Zannuba Arifah Hafshoh (Mahasiswa UIN KHAS JEMBER Fakultas Syariah Prodi Hukum Keluarga Islam).
Berawal dari ayat Al-qur'an bahwasanya, "Dia-lah yang menciptakan berpasang pasangan laki laki dan perempuan.... "Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang pasangan agar kamu mengingat kebesaran Allah". Pada proses penciptaan manusia, sejarah bagaimana Adam a.s dan Siti Hawa merupakan suatu proses bagaimana manusia diciptakan untuk meng-Eksiskan Tuhan (Allah). Begitupula Adam dan Hawa, yang saling meng-Eksiskan satu sama lain. Artinya tidak akan laki laki tanpa adanya perempuan. Dimana merujuk pada sumber Al- Qur'an lainnya dikatakan "Ku ciptakan kamu dari seorang laki laki dan perempuan dan menjadikanmu bersuku suku dan berbangsa bangsa yang tak lain dan tak bukan untuk saling mengenal." (Al Hujarat ayat 13).
Tidak ada perbedaan antara laki laki dan perempuan  di hadapan Allah melainkan ketakwaannya. Begitu kira kira penulis membawa alur pembicaraan kali ini, namun pada corak masyarakat primitive perempuan diposisikan sebagai sebagai mahkluk yang pasif. Juga pada masyarakat jahiliyah, dimana perempuan dipandang sebagai aib, sehingga apabila terdapat bayi perempuan lahir akan dikubur hidup hidup.Â
Yang kemudian Baginda Nabi Muhammad saw, perempuan kembali diangkat derejatnya dalam pandangan masyarakat, dengan menggendong Siti Fatimah (anak Nabi Muhammad dan Siti Khadijah) keliling ka'bah. Spirit pembebasan itu yang di ajarkan Baginda Nabi Muhammad saw kepada umat muslim di dunia. Ya, kesetaraan.
Kesetaraan merupakan konsep dimana tidak ada pembeda atau diskriminasi terhadap salah satu gender tertentu. Namun  setara tidak bisa diartikan sama, lebih tepatnya setara adalah kondisi dimana laki laki dan perempuan memiliki kesempatan yang sama didalam melakukan suatu hal. Penulis contohkan dengan rokok, dimana perempuan juga memiliki kesempatan merokok namun memiliki kebebasan pilihan untuk merokok atau tidak, begitu kira kira konsep setara menurut pemahaman penulis.
Dalam corak masyarakat patriarki, perempuan sering diposisikan sebagai the second sex artinya adalah makhluk kedua. Akibatnya perempuan seringkali di diskriminasi, dan termarjinalkan dalam kehidupan bersosial. Masyarakat patriarki memandang  bahwa kaum perempuan lemah didalam melakukan aktivitas pekerjaan, dilarang bersekolah tinggi tinggi karena dianggap hanya akan menjadi pemuas nafsu laki laki saja sehingga berakibat terpojok pada wilayah domestic saja. Dan budaya masyarakat patriaki yang seperti itu mengakar dalam masyarakat Indonesia.Â
Sehingga pada pra kemerdekaan dahulu R.A Kartini mencoba mendobrak budaya masyarakat lama dimana memposisikan perempuan hanya sebatas ngurus rumah dan memiliki tugas 3M (macak, manak, masak). Darisana R.A Kartini berani memberanikan diri mendirikan sekolah untuk perempuan.
Kemudian pada zaman pasca kemerdekaan munculah beberapa organisasi perempuan salah satunya adalah Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia), Gerwis (Gerakan Wanita Sedar), dll. Namun gerakan perempuan seperti itu dipukul mundur pada zaman orba.Â
Pada era orde baru, terdapat kontral pusat negara. Kebijakan kebijakan orba dikenal dengan state ibuisme atau menekankan pada fungsi ibu dan istri. Ini bisa dibaca dari kebijakan seperti UU Perkawinan atau Program KB yang fokus pada perempuan. Melalui kebijakan kebijakan seperti inilah orba membingkai kewajiban perempuan adalah hanya sebatas pendamping suami dan ibu yang senantiasa mengerjakan urusan domestik.
Padahal dalam menegakan keadilan dalam berbangsa dan bernegara harus ada aturan yang mengatur HAM agar tidak timpang. Aturan yang mengatur tentang HAM termaktub dalam UU No.39 tahun 1999 pada pasal 3 ayat (3) berbunyi: "setiap orang berhak atas perlingdungan hak asasi dan kebebasan dasar manusia, tanpa diskriminasi". Pasal tersebut secara ekplisi juga beralaku pada larangan diskriminasi terhadap jenis kelamin.Â
Begitu juga dalam ranah keluarga, harusnya dapat dipahami bersama perempuan seringkali mendapat peran ganda. Artinya perempuan kerapkali mendapat ketidakadilan, beberapa kasus seperti perempuan dihadapkan pada posisi peran ganda yaitu (bertanggung jawab atas wilayah reproduksi dan produksi) artinya perempuan diberi stigma masyarakat memiliki kewajiban mengurus rumah tangga dan juga membantu perekonomian suami. Jika salah satu lalai maka akan tersirat stigma istri yang tidak becus mengurus rumah tangga.
Ketidakdilan juga diterima perempuan tidak hanya dalam wilayah social, politik, dan keluarga. Namun juga diwilayah hokum, beberapa kasus pemerkosaan di Indonesia seringkali perempuan yang disalahkan pertama mulai dari pakaian terbuka.Â
Padahal jika ditinjau lebih jeli, kebebasan berkespresi adalah hak individual. Lalu kemudian jika terjadi pemerkosaan lantas mengapa yang disalahkan pakaian?! Kedua sebagai korban pemerkosaan perempuan kerapkali disalahkan dengan kiasan mengapa tidak melawan berarti keenakan. Tidak ada perlindungan hukum yang jelas dari perspektif korban di Indonesia. Sahkan RUU PKS! :)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H