Mohon tunggu...
Zamzami Tanjung
Zamzami Tanjung Mohon Tunggu... Penegak Hukum - Melihat berbagai sisi, menjadi berbagai sisi, merasa berbagai sisi, berharap bijak jadi teman abadi, visit my blog winzalucky.wordpress.com, zamzamitanjung.blogspot.com and enjoy it :)

Melihat berbagai sisi, menjadi berbagai sisi, merasa berbagai sisi, berharap bijak jadi teman abadi, visit my blog winzalucky.wordpress.com, zamzamitanjung.blogspot.com and enjoy it :)

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Di Bayang Jam Gadang Part-5

22 Januari 2016   15:39 Diperbarui: 22 Januari 2016   16:10 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hujan rintik di tengah kabut, kala senja berganti malam, di Singgalang yang kian mencekam, lupakan dulu Jam Gadang.

Rombongan yang ada dibelakang kami itu terasa sangat aneh, disebut aneh karena ditengah gelap gunung singgalang, sekelompok orang ini berjalan tanpa penerangan, yang mereka lakukan hanya berjalan sambil bersuara sekali-kali dan dengan menggoyangkan kaleng yang terlebih dahulu diisi dengan batu, hingga ketika digoyangkan akan terdengar bunyi kerontangan.

Kami sepakat untuk menanti rombongan tersebut hingga bersatu dengan rombongan kami, hitung-hitung agar kelompok kami lebih besar lagi yang semula hanya 4 orang menjadi besar hingga 13 orang.

Setelah rombongan ini sampai, maka kami sedikit berbasa-basi dan menanyakan kenapa mereka tidak memakai penerangan, yang dijawab bahwa obor mereka basah terkena hujan. Kekasihku berkata lirih, “bang, kasih mereka lilin”, maka kami bersedia untuk membagi lilin kami dengan mereka untuk selanjutnya berjalan ke depan sana menembus kabut, menembus gelap ditengah rintih hujan senja.

Parade-parade aneh terus mengikuti dan mengiringi jalan kami.

Ditengah perjalanan, mataku tetap “berulah” dengan melihat berbagai penampakan yang menurutku sementara karena ini hanya kecapekan.

Pandangan tersebut diantaranya aku melihat sebuah kedai ditepi jalan dengan dihuni oleh seorang nenek-nenek. Ku usap mataku untuk memastikannya. Sebagaimana ajaran orang tua aku yang mendidik anaknya untuk berani, “Jika ada yang bilang Hantu!”, maka aku dididik untuk bilang, “Apaan Tu?”, aku disuruh untuk memastikan apa yang aku lihat dengan mendekati apa yang disebut dengan hantu tersebut. Ajaran ini aku turuti dengan melihat bahkan melotot memandangi sesuatu yang dibilang hantu itu, semakin dekat, aku terus melototkan mata ditengah kabut, si nenek tetap tidak menoleh dan asyik dengan pekerjaannya. Ketika semakin dekat, sebuah pohon yang aku lewati menghalangi pandanganku dengan si nenek, setelah melewati pohon tersebut aku kembali menatap dan tatapanku hanya kebingungan untuk mencari kembali si nenek dengan kedainya yang tiba-tiba hilang dari pandanganku.

Sejenak aku berpikir, mana mungkin ditengah hutan belantara ini ada kedai dengan penghuninya nenek, lagi-lagi aku menyalahkan mataku dan imajinasiku yang berlebihan.

Habis si nenek menghilang, pandanganku tertuju pada jalan yang kami tapaki, ada lagi tampak keanehan, di hampir tiga langkah kami berjalan aku melihat di jalan setapak itu terserak beberapa helai daun yang daun itu bercahaya dalam gelap. Cahaya daun itu seperti panduan kami untuk segera keluar dari hutan ini.

Sejenak aku mendengar suara azan magrib dibawah sana, ah... ternyata sudah maghrib, tempat dimana pertukaran cuaca secara dramatis dari yang semula hangat menjadi dingin. Menurut pantangan orang tua di kampung kami, adalah pantangan untuk berjalan ketika magrib tiba, “Nanti keinjak anak Iblis!” begitulah tahayul yang dikembangkan terus menerus. Azan itu memberi harapan bagi kami, bahwa sebentar lagi kami akan sampai dibawah, nurani ini seperti menikmati setiap lantunan suara azan di bawah sana, nyaman dan tenang. Namun setelah suara azan selesai, ketidaknyamanan kembali kami rasakan terutama bagi aku yang memimpin jalan.

Mataku kembali menangkap hal-hal yang aneh.

Kutatap kedepan sepertinya ada yang menghadang jalan kami, tidak mengancam memang, namun cukup aneh. Di depanku menghadang seekor kucing hitam yang duduk santai ditengah-tengah jalan. Aku memandangi kucing tersebut, mata kucing yang terang dalam gelap itu terus memandangi aku yang semakin mendekatinya.

Kucing ini seperti bermain dilingkungannya dan seperti tidak terusik dengan kedatangan kami. Ketika sudah dekat, kucing tersebut melompat kesemak di sebelah kirinya. Aku hanya bingung dengan kejadian tersebut tanpa memberitahu ke teman-teman dibarisan belakang. Agar mereka tidak panik.

Keanehan melihat kucing hitam tersebut hanya permulaan saja.

Tepat di semak sebelah kiri tempat kucing hitam tadi melompat aku menyaksikan hal yang mengerikan, banyak mata-mata terang menatap kami, matanya mirip dengan kucing namun lebih besar!

Aku sangat terkejut dan secara tidak sengaja langkahku semakin cepat sambil menyeret paksa kekasihku yang menggenggm tanganku semenjak tadi, hingga dia menggaduh, “Pelan-pelan donk...”

Aku tidak peduli dengan suara gaduhnya, aku semakin mempercepat langkah. Sambil berjalan aku mengeluarkan rokok kretekku dan langsung menyalakan api untuk menghisap rokok tersebut dengan cepat dan menghebuskan asapnya secara cepat.

“sudah jangan merokok lagi...” pinta kekasihku.

Pintanya tak ku gubris.

“nanti aku jelaskan kenapa aku harus merokok”, ucapku sambil menoleh wajah cantiknya yang sudah kelelahan itu.

Menurut hal yang diajarkan oleh senior-senior pencinta alam, bahwa merokok itu perlu ditengah hutan dan berjalan ditengah kegelapan malam. Gunanya untuk memberitahu kepada binatang-binatang hutan bahwa keberadaan kita ada. Bau tembakau yang bercampur dengan cengkeh akan memberitahu binatang bahwa kita manusia sedang berjalan, maka binatang tersebut secara naluriah hewannya akan menjauhi kita.

“aduh.. kakiku sakit, pelan bang...” gaduh kekasihku kembali.

“ah.. sudahlah nanti dibawah kakinya akan ku pijit, yang jelas sekarang ayo cepat, kita hampir sampai. Perhatikan jalan dan jangan lihat yang lain”, perintahku.

Di bawah sana aku melihat sebuah perkampungan, cukup elit untuk sebuah perkampungan ditengah hutan belantara, sejenak aku lega... akhirnya sebentar lagi sampai... namun otak jernihku dan nuraniku berontak, tidak mungkin ada kampung ditengah hutan seperti ini!

Perkampungan itu seperti memanggil-memanggilku untuk datang dan memasukinya. Namun nuraniku terus berontak, tidak mau!

Aku berhenti sesaat, menghirup nafas dalam-dalam sambil memejamkan mata. Lalu aku membuka kembali mata dan kampung yang tadi hilang dari tatapan berganti dengan kegelapan hutan.

“Hah... ternyata mataku semakin berulah”, batinku.

Kami terus menapaki jalan yang terasa semakin berat dan semakin lama, padahal menurut perhitunganku dari batas hutan pimpiang hingga menuju pos pendakian hanya membutuhkan waktu 1 jam. “Namun ini sudah berapa jam kami berjalan tapi tidak sampai-sampai juga”, batinku.

“Mungkinkah kami tersesat”, lanjut batinku.

“ah.. tidak mungkin..” Aku terus berjalan.

Aneh memang, terasa kami melewati jalan yang sama setelah berjalan selama 15 menit. Namun hatiku tidak mempedulikan itu.

Sejenak teman yang ada dibelakang memanggilku, “pak, kita berhenti dulu!”, ah memang sejak tadi kami tidak berhenti berjalan, aku menhentikan langkahku dan tim juga ikut beristirahat sejenak.

“bagaimana pak?”, tanya seorang dari anggota.

“bagaimana, maksudnya?” balik tanyaku.

“apakah kita berteriak atau cukup membunyikan peluit?” lanjutnya.

Sungguh aku tidak mengerti maksudnya.

Anggota yang lain menimpali, “si abang itu tidak ngerti kali”, aku acuhkan saja ucapannya, karena memang aku tidak mengerti.

Setelah cukup istirahat, maka kami kemudian kembali berjalan, setelah berjalan hampir 15 menit, teman yang tadi memintaku lagi berhenti.

“pak, apa kita bakar api unggun saya yach?”, aku tidak mengerti dengan pintanya tersebut. Aku Cuma diam, lalu aku tawarkan pada salah satu dari mereka.

“ada yang mau jadi leader ngga? Sudah capek nich” tawarku.

Maka salah seorang kemudian menyanggupi dan maju kedepan untuk memimpin rombongan kami. Sejenak aku melepaskan ketegangan karena menjadi leader tadi membuatku tegang.

Setelah berjalan cukup lama, leader yang sedang memimpin berhenti kebingungan dan sepertinya menyimpan rasa takut.

“ayo terus jalan..” desakku dari belakang.

Karena tidak menjadi leader aku kemudian lebih tenang mengamati sekelilingku. Setelah belasan menit berjalan sepertinya aku melalui tempat yang sama yang sebelumnya aku lalui, aku tidak meyakini itu awalnya, untuk membuktikan kecurigaanku, aku kemudian menaruh sebuah botol ditepi jalan. Beberapa saat kemudian, setelah rasanya jauh berjalan, aku melihat botol itu kembali. “ah, tidak mungkin!” batinku.

Untuk lebih meyakinkan, maka kutaruh sebuah botol hingga sekarang ada dua botol yang aku taruh disamping jalan kami. Kami kembali berjalan berharap sampai di pos pendakian.

Dan alangkah terkejutnya aku ketika kembali menemui dua botol yang aku taruh disamping jalan tadi.

Ternyata sejak tadi, leader yang didepan dan beberapa anggota tim lain sudah menyadari bahwa kami sudah berjalan yang jalannya itu-itu saja alias berputar-putar ditempat yang sama, dalam istilah orang tua disebut “takuruang dalam rimbo”.

Permintaan berteriak, membunyikan peluit dan membakar unggun sebenarnya untuk memberitahukan kepada orang yang dibawah sana bahwa kami tersesat. Setelah aku menyadai bahwa kami “dipermainkan” oleh sesuatu yang tidak kasat mata, maka aku meminta kepada leader yang didepan untuk berhenti dan berkumpul membentuk lingkaran.

“ada apa sebenarnya?” tanyaku.

“ya si bapak sudah mengerti, mengapa harus nanya balik?” ucap seseorang anggota tim.

Beberapa perempuan anggota tim yang lain langsung menangis, ya.. kata yang tidak kami ucapkan adalah bahwa kami tersesat dan di permainkan oleh penghuni rimba ini yang notabenenya adalah makhluk halus.

Aku menarik nafas sejenak dan memperhatikan rimbun hutan disekeliling.

“kita harus bakar api unggun dan jangan berjalan lagi, kalau berjalan bisa-bisa kita tersesat lebih jauh, biar orang mencari kita nanti”, usul seorang teman.

Namun anggota perempuan yang lain sambil menangis menolak, karena dia sudah janji untuk pulang besok kepada orang tuanya.

Seperti kembali mengambil posisi leader/pemimpin rombongan, aku kemudian meminta seluruh anggota tim untuk berkumpul dalam satu lingkaran dan saling memegang tangan. Sementara disekeliling kami terasa ada yang mengawasi.

“Kawan-kawan, kita sudah menyadai bagaimana kondisi kitas sekarang, sejak tadi kita berjalan, kita melewati jalan yang sama, kita tersesat. Mungkin barangkali penghuni rimba ini marah pada kita. Bisa jadi ada perbuatan tercela yang kita lakukan hingga mereka marah dan mempermainkan kita”, ucapku lantang.

“ada yang merasa berbuat salah tadi?” tanyaku kepada seluruh anggota tim.

Masing-masing mereka kemudian menyebutkan dan mengakui beberapa kesalahan mereka.

Setelah selesai pengakuan mereka masing-masing, aku mendesak mereka “Silahkan minta maaf kepada penghuni rimba ini, kita memang ada dilingkungan mereka, jadi kita tamu disini dan memperhatiakn etika dan sopan santun bertamu!” seruku.

Maka masing-masing mereka kemudian meminta maaf dengan berteriak dan memohon untuk tidak mengganggu kami lagi. Emosional memang ketika beberapa diantara kami berucap.

“perhatian semuanya, sekarang silahkan untuk membaca surat Al-Fatihah, Surat An-Nas, Surat Al-falaq dan Surat Al-Ikhlas secara bersama”, maka kami melantunkan ayat tersebut secara bersama-sama ditengah hutan itu.

“baca juga ayat kursi” perintahku. Anggota tim mengikuti perintahku.

“oke, sekarang ayo kita jalan, mudah-mudahan kita cepat sampai dibawah”, kataku kepada seluruh anggota tim.

Aku meminta kepada seluruh anggota tim untuk saling berpegangan tangan sambil mengucapkan “La ilaha illallah”. Aku kembali memimpin rombongan ini didepan.

Setelah lima menit berjalan dengan mengucapkan “La ilaha illallah”, keajaiban terjadi, hutan yang semula gelap ditutupi kabut menjadi terang ditambah diterangi caha bulan dan bintang diatas sana. Hati ini bahagia ketika melihat bintang-bintang dan bulan bersinar. Gunung Merapi yang berdampingan dengan gunung singgalang disana juga terlihat bersih. Tiang listrik yang menjadi acuan bagi pendaki di singgalang ini juga mulai terlihat hingga akan memudahkan jalan kami. Aku merasakan ada yang lepas dari mataku, rasanya sebelum ini ada yang menjajah mataku hingga tidak melihat hal-hal yang nyata.

Tidak sampai 10 menit kami berjalan dengan mengucapkan “La ilaha illallah”, kami sudah melihat pos pendakian dari kejauhan, beberapa anggota tim berteriak kegirangan, “tetap tenang, terus mengucapkan “La ilaha illallah”, perintahku, aku takut jika pos itu lagi-lagi tipuan mataku.

Seorang yang tidak tahan lagi, melompat mendahului rombongan kami dan berlari menuju lapangan yang tidak jauh dari pos, “hore... kita sampai”, teriaknya.

Keanehan ternyata belum berhenti, tepat dibelakang temanku itu ada sosok hitam yang mengikuti dan berdiri dibelakang temanku itu ketika si teman ini duduk karena lelah.

Kami segera menyusul teman tersebut, ketika hampir dekat, maka sosok hitam yang dibelakang temanku itu berbalik arah ke pendakian dengan berjalan menyamping melewati rombongan kami, aku dan beberapa anggota lain hanya memandangi sosok hitam itu.

“Sudah, kalian sudah sampai, hati-hati..” ucapnya tanpa menunggu jawaban karena dia berlalu menuju ke gunung kembali.

“siapa itu, ed?” tanyaku kepada teman yang sedang duduk.

“siapa?” tanyanya bingung. Berarti dia tidak menyadari tadi ada yang berdiri dibelakangnya, sesosok hitam.

“ah... sudahlah yang penting kita sudah sampai”, ucapku.

Di pos pendakian, beberapa orang menyongsong kami dengan mengucapkan rasa syukur.

“kami pikir, kalian tadi tidak akan selamat” ucap salah seorang petugas pos pendakian.

“badai tadi begitu kuat diatas, kalau kalian tidak juga datang, kami memutuskan di awal subuh untuk keatas untuk menjemput kalian?” ucapnya.

“apakah ada diantara petugas tadi yang menjemput kami ke atas?” tanyaku.

“tidak... mana berani kami menerobos badai seperti itu” ucap petugas itu.

Ah... ternyata sosok hitam tadi bukanlah petugas pos penjagaan? Lalu siapa? Tanya hatiku. Sosok hitam tadi sepertinya telah menolong kami.

Kekasihku yang kelelahan mengambil tempat untuk duduk. Seperti janjiku, aku memijit kakinya yang lecet. Seorang teman lagi menghidupkan Hapenya yang ketika digunung tadi tidak bisa hidup karena kehabisan bateray ternyata setelah tiba dibawah bisa hidup kembali dan yang lebih anehnya bateranya masih penuh, aneh memang. Teman ini meminta temannya untuk menjemput dengan mobil walaupun waktu telah menunjukkan jam 12 malam, dia tetap mendesak, karena yang ditelepon adalah mantan kekasihnya. Maka dia berjanji untuk menjemputnya, kami sudah lelah dengan kondisi pegunungan ini yang selalu membuat kami tegang, maka kami berniat malam ini untuk kembali. Kami benar-benar lelah... dan tak terasa kami tertidur disebuah meja. Hingga kami dikejutkan dengan kedatangan sebuah mobil yang ternyata teman yang tadi ditelepon.

Singgalang, bersama jam gadang aku meminta maaf karena kelancanganku yang telah membongkar misterimu. Mudah-mudahan tamu-tamu yang akan menjejaki punggungmu bisa tahu adat dan bersopan santun ketika menjadi tamu dilingkunganmu, maafkan...

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun