Nilai hak siar yang tinggi dan kehadiran sponsor-sponsor dengan nilai kontrak yang selangit, sangat berdampak bagi Liga Premier, baik untuk liganya sendiri maupun bagi klub pesertanya. Namun juga berpotensi merugikan dikarenakan peningkatan daya saing otomatis meningkatkan harga jual pemain.
Uang seolah menjadi berkah sekaligus kutukan bagi Liga premier.
Musim ini klub-klub Inggris menunjukkan dominasi di kompetisi Eropa, Liverpool dan Tottenham di final Liga Champions serta Chelsea dan Arsenal di final Liga Europa. Namun dari klub-klub tersebut bukanlah klub-klub terkaya di Liga Premier saat ini.
Pada transfer musim panas yang lalu, Liverpool memang menghabiskan dana transfer yang cukup besar, namun pengeluaran itu sebagian merupakan dana transfer Coutinho yang direkrut Barcelona. Sedangkan Tottenham, klub tersebut tidak melakukan aktivitas jual beli pemain pada musim panas, bahkan sejak jendela transfer Januari 2018.
Chelsea memang mendatangkan Kepa dengan memecahkan rekor transfer untuk kiper termahal, namun itu dilakukan karena kebutuhan mendesak menjelang penutupan bursa transfer setelah saga transfer Courtois yang berlarut-larut. Begitupun Arsenal, klub yang terkenal pelit berbelanja pemain dengan harga yang tinggi.
Ketika menyebutkan kemegahan Liga Premier, klub-klub tersebut bukanlah klub teratas yang ada dipikiran. Saat ini kemegahan tersebut menjadi bagian dari kota Manchester.
Chelsea memang pernah menjadi bagian ekslusif dari klub-klub yang memiliki dana tak terbatas, namun itu dulu, saat ini Chelsea sudah membatasi pembelian pemain dengan harga yang tidak masuk akal setelah sang pemilik, Roman Abramovich, dikabarkan mengalami kerugian dengan usahanya yang lain.
Namun liga Premier berhasil menyajikan lingkungan kompetisi yang baik diantara para pesertanya. Hal yang mendorong para kontestannya untuk terus memperkuat diri dan bersaing pada setiap musimya. Dengan lima dari enam penghuni papan atas klasemen dilatih oleh pelatih-pelatih yang menjadi role model para pelatih lain di dunia baik oleh prestasi, maupun gaya bermainnya.
Lihatlah malam luar biasa yang terjadi di Anfield, perpaduan strategi dan aksi para pemainnya, membuat Barcelona panik dan menunjukkan mereka tidak memiliki respon yang baik, kekalahan dari segi mental yang akhirnya meruntuhkan segalanya.
Itulah bahayanya bermain di liga dengan satu atau dua klub yang mendominasi. Tim-tim tersebut seperti kurang berpengalaman menghadapi pertandingan-pertandingan dengan skenario seperti itu, dimana sebuah klub tidak dikondisikan bermain dengan tekanan yang besar selain kondisi pilihan mereka sendiri pada liga yang dikuasainya, ketidakseimbangan kompetitif.
Liverpool yang tampil tanpa Firmino dan Salah yang dianggap sebagai pusat permainan Klopp, menunjukkan pentingnya sistem bermain dan kerjasama tim daripada mengandalkan individu.
Keberhasilan Tottenham mencapai final juga menegaskan hal tersebut. Ajax memang berhasil menjungkalkan Real Madrid dan Juventus, namun Ajax jarang bermain pada kondisi seperti ini terutama di Eredivisie. Tekanan bertubi-tubi dari Tottenham menciptakan rasa takut dan mengintimidasi sehingga pada akhirnya menciptakan kesalahan-kesalahan pada permainan Ajax.
Begitu pula Chelsea dan Arsenal yang meskipun tertatih-tatih di kompetisi lokal, namun sudah sering berhadapan dengan situasi-situasi semacam ini.
Persaingan dalam kompetisi Liga Premier menunjukkan kualitas tersebut. City mungkin mendominasi kompetisi lokal, namun cara bermainnya konstan, tidak memiliki banyak variasi selain selain mengandalkan penguasaan bola dan kehebatan individual para pemainnya. City dalam dua musim terakhir juga selalu tersingkir dari kompetisi Liga Champions melawan sesama tim Inggris.
Kemegahan Liga Premier dengan gelimang fulusnya memang membuat tim-tim tersebut dengan mudah merekrut pemain untuk menutupi kelemahannya. Namun yang terpenting, perekrutan pemain tersebut dilakukan untuk melengkapi taktik yang digunakan ataupun mampu menciptakan variasi-variasi dalam permainan.
Dominasi tim-tim Inggris seperti menunjukkan hasil dari persaingan kompetisi lokal mulai menjalar ke Eropa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H