Mohon tunggu...
Zamhuri
Zamhuri Mohon Tunggu... Peneliti Swasta -

Aktiif di Lembaga Studi Sosial dan Budaya (LS2B) Sumur Tolak Kudus. Dan Pusat Studi Kretek Indonesia (Puskindo)

Selanjutnya

Tutup

Politik

FCTC dan Ancaman Kebijakan Pro-modal Asing

17 September 2013   10:36 Diperbarui: 24 Juni 2015   07:46 170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Tahun 2011 impor tembakau dan produk tembakau mencapai 91.783 ton, yang terdiri dari tembakau un-manufacturing sebesar 83.107 ton; cigar, cigarilos, cigaretes 313.665 kg, dan tembakau manufacturing lainnya sebesar 8.362 ton. Indonesia mengalami defisit perdagangan 6.607 ton. Nilai impor mencapai US$ 474,561 juta. (Departemen Perdagangan, 2012).

Bahkan, dalam kerangka China ASEAN Free Trade Agreement (CAFTA), Indonesia menyepakati bea masuk 0 persen pada sebagian besar produk yang diperdagangkan antara Indonesia-China. Tahun 2015 Indonesia–China sepakat mengurangi tarif secara drastis hingga 50 persen untuk produk kategori High Sensitive Track. Kebijakan ini tentu akan semakin mendorong masuknya impor tembakau mentah dan produk olahan tembakau ke Indonesia.

Tekanan FCTC terhadap pertanian dan pasokan tembakau pada satu sisi telah menyebabkan berkurangnya akses perusahaan-perusahaan kecil terhadap bahan baku tembakau. Kondisi ini semakin memperlemah industri kecil menengah tembakau, ditambah lagi dengan tekanan fiskal (cukai) dan berbagai aturan yang dapat mengancam kebangkrutan.

Sementara itu, perusahaan besar khususnya perusahaan multinasional dapat dengan mudah mengakses sumber bahan baku impor. Kemampuan perusahaan besar beradaptasi dengan berbagai peraturan menghasilkan keuntungan. Peraturan yang ketat seketika menyingkirkan perusahaan kecil yang lemah, dan pada saat yang sama perusahaan besar multinasional mengambil alih pasar.

Di sisi lain, keberadaan IHT yang berskala multinasional milik asing juga diproteksi perjanjian internasional dalam bidang perlindungan Investasi atau Billateral Investment Treaty (BIT), dan perjanjian di bawah WTO, yaitu Trade Related Investment Meassures (TRIMs). Jika pemerintah berbuat sedikit kesalahan terhadap perusahaan multinasional tersebut, maka akan memiliki konsekuensi terhadap gugatan arbitrase internasional.

Kebijakan pemerintah yang akan mengadopsi FCTC menyebabkan perusahaan asing, seperti Philip Morris, BAT, dan lainnya, semakin mendominasi investasi dalam negeri. Hal ini seiring dengan melemahnya perusahaan nasional, dan terancamnya ribuan produsen rokok skala kecil, akibat kebijakan cukai, dan tekanan-tekanan regulasi lainnya.

Jika kebijakan pemerintah Indonesia lebih menguntungkan dominasi kepentingan asing, dalam investasi, perdagangan, dan keuangan, maka Industri kretek nasional akan semakin tergusur keberadannya. Maka, kasus yang menimpa industri kopra nasional, bisa jadi akan dialami juga oleh industri kretek nasional. ***

* Zamhuri, Deputi Direktur Masyarakat Pemangku Kepentingan Kretek Indonesia (MPKKI)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun