Mohon tunggu...
Zamhuri
Zamhuri Mohon Tunggu... Peneliti Swasta -

Aktiif di Lembaga Studi Sosial dan Budaya (LS2B) Sumur Tolak Kudus. Dan Pusat Studi Kretek Indonesia (Puskindo)

Selanjutnya

Tutup

Politik

FCTC dan Ancaman Kebijakan Pro-modal Asing

17 September 2013   10:36 Diperbarui: 24 Juni 2015   07:46 170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Rencana Pemerintah melalui Kementerian Kesehatan (Kemenkes) meratifikasi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau atau Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) yang akan diberlakukan tahun 2014 berpotensi memunculkan masalah dan problem baru bagi kelangsungan Industri Hasil Tembakau (IHT) nasional. Setelah pemerintah menerbitkan kebijakan melalui regulasi (peraturan perundangan) yang mempersempit ruang gerak IHT, pemerintah kian menutup mata terhadap dampak masalah yang dialami oleh industri kretek nasional.

Sebelumnya, pemerintah telah menerbitkan Undang-undang (UU) tentang Kesehatan nomor 36 tahun 2009 yang mendasari penerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) nomor 109 tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan, berbagai Peraturan Daerah (Perda) Kawasan Tanpa Rokok (KTR) di beberapa daerah, dan Peraturan Menteri (permen) yang membuat keberlangsungan IHT semakin terjepit.

Regulasi Asing

FCTC sendiri merupakan produk perjanjian internasional yang diterbitkan atas dorongan dan prakarsa badan dunia World Health Organization (WHO). Regulasi ini diadopsi oleh Majelis Kesehatan Dunia pada 21 Mei 2003 dan mulai berlaku pada 27 Februari 2005. Itulah sebabnya FCTC menggunakan label kesehatan sebagai dalih pengaturan tembakau secara internasional. Namun, materi FCTC sendiri lebih banyak mengatur masalah tata niaga, seperti pengurangan pasokan, pembatasan industri, standar produk, CSR, dan pajak IHT.

Upaya memberlakukan FCTC secara global dilakukan dengan dua cara, yaitu, pertama, semua negara didorong untuk meratifikasi peraturan ini ke dalam hukum nasional. Kedua, mendorong masuknya prinsip-prinsip dan kaidah FCTC pada produk undang-undang sektoral. Untuk produk regulasi nasional yang sudah mengadopsi adalah UU Kesehatan nomor 36 tahun 2009 dan PP nomor 109 tahun 2012.

Proses adopsi FCTC ke dalam hukum nasional ditengarai melibatkan mafia-mafia internasional atas dukungan pendanaan Multinational Corporation (MNC). Mereka bekerja melalui lembaga resmi pemerintah, parlemen, dan lembaga penelitian dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).

Justru pada saat yang sama, perusahaan multinasional tembakau dan rokok mengambil keuntungan dari tekanan dari rezim FCTC kepada suatu negara. Dalam kasus Indonesia, FCTC telah juga diadopsi ke dalam peraturan daerah (perda), yang membuat kebijakan pengurangan penanaman tembakau melalui pengalihan tanaman.

Jika FCTC diadopsi menjadi hukum positif, industri kretek nasional akan semakin terdesak oleh regulasi. Yang paling bisa menyesuaikan regulasi FCTC justru indusutri tembakau asing yang beroperasi di Indonesia. Mereka telah mengantisipasi pemberlakuan regulasi tentang standar tar, nikotin, SNI produk tembakau yang telah diatur dalam FCTC, yang sulit dipenuhi oleh IHT yang berbasis pada tembakau lokal.

Selama ini, regulasi yang mengatur IHT di Indonesia telah berhasil menekan pertanian tembakau dan mengurangi kemampuan pasokan bahan baku bagi industri tembakau nasional secara signifikan. Beberapa daerah di Indonesia bahkan telah secara efektif menjalankan skema pengalihan tanaman tembakau ke tanaman lain dengan dukungan anggaran dari pemerintah. Namun di sisi lain, kebutuhan nasional dan juga kebutuhan global terhadap bahan baku tembakau terus meningkat.

Serbuan Impor

Kebijakan yang lebih menguntungkan pelaku usaha asing sebetulnya telah dilakukan. Pemerintah selama ini telah mengikuti berbagai skema perjanjian perdagangan internasional melalui keaktifan menjadi anggota pada World Trade Organization (WTO), Free Trade Agreement (FTA), China ASEAN Free Trade Agreement (CAFTA), dan berbagai perjanjian perdagangan bebas bilateral lainnya. Dampak dari perdagangan bebas tersebut menghapuskan seluruh hambatan perdagangan, hambatan impor, baik itu hambatan tarif (tarrif barrier) maupun hambatan non-tarif (non-tarrif barrier). Melalui kebijakan perdagangan bebas tersebut, maka komoditas tembakau dan produk olahannya semakin mudah masuk ke Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun