Namun sebenarnya, dalam konsep akumulasi kekuatan (permodalan dan manajerial), penggabungan antara empat Perseroan (Persero) dengan kemampuan modal dan infrastruktur yang dimilikinya justru lebih menguntungkan dari pada dipecah-pecah. Bahkan dalam konsep solidaritas sosial, tidak masalah jika terjadi subsidi silang (modal yang kuat membantu yang lemah), daripada, ada sebagian rakyat yang tidak bisa tertanggung akibat salah satu Perseroan (Persero) kekurangan dana, sementara ditempat lain terjadi kelebihan dana.
Perbedaan lain juga adalah dalam konsep tentang BPJS, BPJS versi KAJS harus terdiri dari 2 (dua) organ yang terpisah, yaitu Dewan Wali Amanat dan Direksi. Dewan Wali Amanat adalah organ BPJS yang terdiri dari unsur organisasi pengusaha/pemberi kerja, organisasi pekerja/buruh, pemerintah, dan ahli Jaminan sosial yang bertugas melakukan pengawasan khusus terhadap perencanaan dan pelaksanaan program yang diselenggarakan oleh BPJS, sedangkan Direksi adalah organ BPJS yang terdiri dari orang-orang yang profesional di bidang Jaminan sosial yang mempunyai tugas, wewenang dan tanggungjawab untuk mengurus BPJS, dan mewakili BPJS baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan wewenang yang diatur dalam undang-undang. Pemisahan ini dimaksudkan, harus ada pelibatan yang lebih luas (tripartisme), bukan seperti BUMN, antara unsur Pemerintah, organisasi pengusaha/pemberi kerja dan organisasi pekerja/buruh, organisasi petani, organisasi nelayan, organisasi pegawai negeri (PNS, Prajurit TNI, Anggota POLRI) dalam setiap BPJS. Tetapi sayangnya, secara konsep, BPJS versi KAJS, baik Dewan Wali Amanat maupun Direksinya sama-sama diangkat dan diberhentikan Presiden. Dewan Wali Amanat tidak jauh berbeda fungsinya seperti DPR dalam Triaspolitika, bahkan legitimasi (sekalipun calon dari organisasi rakyat (buruh, tani atau nelayan) bisa diusulkan sendiri oleh organisasinya masing-masing, namun pengajuannya harus oleh Kementerian terkait (Departemen Tenaga Kerja atau Departemen Pertanian atau Departemen Perikanan dan Kelautan), dan wewenangnya lebih kecil.
Seharusnya Dewan Wali Amanat dari unsur rakyat harus diusulkan dan dipilih oleh organisasi rakyat itu sendiri, melalui mekanisme pemilihan langsung, masing-masing sector masyarakat memiliki wakil yang akan duduk dalam Dewan Wali Amanat (yaitu: organisasi buruh, organisasi tani, oragnisasi nelayan, organisasi pegawai negeri, TNI dan Polri), calon-calon yang dipilih kemudian akan mendapatkan akta pencatatan dari pengadilan. Calon-calon dari rakyat ini bisa sewaktu-waktu diganti, jika melanggar komitmen kepada para pemilihnya.
VIII. Kesimpulan
Dengan melihat fakta-fakta diatas, menjadi logis jika Pemerintah memang ingin melepas tanggungjawab kepada rakyatnya, membatasi layanan kesehatan, tidak memberikan Jaminan Pendidikan, dlsb, itulah mengapa, Pemerintah juga memperbolehkan BPJS mengembangkan dana/investasi yang didapat dari iuran wajib peserta sendiri, sekalipun mengandung resiko tidak kembali. Semua hal ini tidak bisa dilepaskan begitu saja dari tekanan sistem Kapitalisme, dalam hukum besi (hukum yang tidak dapat diubah) Kapitalisme, Negara memang harus menghemat anggarannya untuk belanja sosial, bahkan jika memungkinkan sistem Jaminan Sosialnya diserakan kepada swasta, demi keuantungan Kapitalis.
Menyerahkan persoalan Jaminan Sosial pada swasta juga bukan jalan keluar, lihatlah bagaimana contoh di AS (sebelum adanya reformasi anggaran (Health Reform Bill)), dimana Jaminan Sosialnya diserahkan kepada swasta, banyak pasien yang tidak diurus lantaran tidak memenuhi kriteria perawatan yang dilakukan oleh pihak asuransi karena berbagai hal. Ini dilakukan lantaran pihak asuransi harus mencari profit, karena jika semakin banyak klain maka perusahaan akan semakin rugi, sementara dana yang terkumpul terus diputar ke berbagai investasi, dan ketika krisis, dimana banyak perusahaan yang tutup, termasuk perusahaan asuransi maka tidak ada lagi yang menaggung Jaminan Sosial rakyat, apalagi setelah krisis semakin banyak rakyat yang menjadi miskin sehingga tidak mampu lagi membeli polis asuransi.
Untuk itu seharusnya yang kita tuntut adalah:
- Mewujudkan sistem Jaminan Sosial yang terintegrasi dengan cara merevisi UU SJSN, Pemerintahlah yang harus menjamin hak rakyatnya secara gratis (terutama kesehatan dan pendidikan), yang menjangkau seluruh rakyat, dan tidak dibatasi baik obat-obatannya, jenis pelayanannya ataupun rumah sakitnya, termasuk transportasi ketika harus diobati keluar daerah;
- Pengembangan dana iuran hanya boleh dilakukan untuk mendukung kemajuan tenaga produktif rakyat dan menunjang program kesejahteraan rakyat seperti: Mencetak tenaga-tenaga yang berkualitas dibidang kesehatan, Memperbayak jumlah rumah sakit, klinik, puskesmas dan meningkatkan kualitasnya, mendirikan lembaga-lembaga riset dibidang teknologi kesehatan dan obat, mendirikan pabrik-pabrik farmasi dlsb;
- Kemudian, Pemerintah harus membentuk Badan Pekerja Jaminan Sosial yang demokratis dan mampu dikontrol langsung oleh rakyat.
- Memusatkan pembiayaan dalam negeri dengan cara:
- Merubah komposisi pengeluaran APBN, dengan memperbesar anggaran untuk rakyat. Dimana Negara kita termasuk yang paling kecil alokasi dari APBN-nya untuk kesejahteraan rakyat. Misalnya untuk sektor kesehatan saja, Indonesia dikenal paling rendah di negara-negara lainnya dalam hal pembiayaan kesehatan per kapita, Negara-negara maju yang rata-rata menghabiskan 7,7 persen Produk Domestik Bruto (PDB) mereka untuk belanja kesehatan, Negara berpendapatan menengah rata rata 5,8 persen PDB, dan rata-rata belanja kesehatan negara miskin menghabiskan 4,7 persen PDB-nya, sementara, Indonesia hanya mengeluarkan 2,5 persen PDB atau setara dengan Rp. 171.511 per orang per tahun.
- Memperbesar pendapatan Negara, dengan jalan antara lain melakukan nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing, terutama industry energy dan pertambangan (apalagi bila secara teknologi, manajerial, dan kesiapan psikologi buruhnya, sudah siap), atau minimal melakukan peninjauan ulang atas kebijakan-kebijakan pertambangan yang merugikan rakyat, misalnya dengan: meninjau ulang kebijakan prosentase bagi hasil untuk kepentingan dalam negeri, merevisi kontrak harga jual produk migas yang masih dibawah harga standart (misalnya dalam kontrak harga LNG dari kilang Tangguh dengan Cina yang dipatok dengan harga hanya US$ 2,4 per juta British thermal unit (mmbtu) padahal harga gas sudah berkisar US$ 6-7 per mmbtu, bahkan harga LNG dari Kilang Bontang yang diekspor ke Jepang mencapai di atas US$ 15 per mmbtu, menghapus kebijakan DMO Holiday, DMO Fee dan memperkecil penyimpangan Cost Recovery, menolak pembayaran/pembelian listrik terhadap kontrak-kontrak yang sudah mati, menyita harta koruptor yang memark-up proyek-proyek pembangit listrik dll), dan masih banyak cara lainnya seperti meminta menolak pembayaran utang, minimal utang yang tidak masuk kedalam pembiayaan pembangunan karena di korupsi (utang najis) atau meminta penangguhan utang luar negeri, menyita harta koruptor Orba sampai Orde Reformasi, mengambil kembali (bisa saja dengan dibeli) perusahaan-perusahaan negara yang telah dijual kepada swasta, yang menguntungkan, memajukan industri nasional (milik sosial) dengan meningkatkan tenaga produktif manusia, teknologi, dan sarana produksi lainnya, sehingga tidak tergantung lagi kepada asing dan swasta dan lain sebagainya.
- Memanjukan kualitas dibidang kesehatan rakyat, melalui:
- Memperbanyak universitas-universitas/ fakultas-fakultas kedokteteran, keperawatan, farmasi, kesehatan masyarakat dengan biaya murah;
- Penambahan jumlah puskesmas, laboratorium, lembaga riset kesehatan dan obat-obatan, sehingga seberbanding dengan jumlah dan sebaran penduduk;
- Peningkatan kualitas puskesmas, rumah sakit, tenaga dokter, perawat;
- Memperbesar subsidi obat-obatan untuk rakyat;
- Menolak privatisasi industry farmasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H