Lihat saja fakta-fakta berikut ini:
1. Sampai dengan hari ini, teknologi yang digunakan oleh Industri Nasional sebagian besar adalah teknologi import, bahkan persentasenya mencapai 92 % (37 persen dari Jepang, 27 persen dari negara-negara Eropa, 9 persen dari Amerika Serikat, 9 persen dari Taiwan, 4 persen dari China, 3 persen dari Korea Selatan, 2 persen dari India, dan 1 persen dari Thailand, seperti yang diungkapkan oleh Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, Marzan Aziz Iskandar)
Atau dengan kata lain selama puluhan tahun, tidak terjadi proses alih teknologi, malah yang terjadi adalah pencurian teknologi dari Indonesia, seperti yang terjadi pada kasus pematenan beberapa jenis tempe oleh Jepang, mebel Jepara, Batik Pekalongan dan lain sebagianya. Itulah sebabnya, dalam aturan-aturan perdagangan bebas dunia, negara-negara Imperialis sangat berkepentingan dalam memaksakan issu Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI), bahkan dengan membuat shock therapy yang vulgar seperti razia terhadap penggunaan software Windows ilegal/bajakan beberapa tahun yang lalu.
2. Hampir semua bahan baku untuk industri nasional juga harus di import. Misal untuk Industri makanan minuman, bahan baku gula rafinasi (gula dengan standar Industri makanan-minuman) masih import dengan persentase 100 %. Untuk industri elektronik, 30 % bahan bakunya masih harus di import, dan 90 % bahan baku industri farmasi nasional juga masih import, bahkan untuk tempe dan tahu pun masih import kedelai 60,5 %. Menurut Ketua Badan Pengurus Pusat (BPP) Gabungan Importir Nasional Seluruh Indonesia (GINSI), Amirudin Saud impor bahan baku selama periode 2005-2007 masih lebih dari 70%.
3. Situasi Industri Nasional yang seperti ini masih diperparah dengan kurangnya modal, akibat kredit perbankan Nasional yang masih terlalu tinggi menetapkan suku bunga kredit, yang berkisar antara 11-13 %, sementara bunga deposito sekitar 7 %--ini tidak lepas dari kebijakan liberalisasi modal yang paling liberal, sehingga arus keluar masuk modal lebih banyak pada spekulasi saham maupun pada obligasi, dan bukan pada sector real/Industri--
4. Masalah lainnya yang juga membuat Industri Nasional makin tak berkembang adalah masalah infrastruktur yang masih kalah jauh dibandingkan dengan Negara-negara lain, bahkan dengan Malaysia. Studi Asia Fondation dan Bank Dunia pada April 2008 mencatat, biaya transportasi di Indonesia adalah US$ 34 sen per kilometer, sedangkan di Malaysia hanya US$ 22 sen per kilometer.
5. Dan pada saat yang bersamaan, pungutan-pungutan liar pun ikut membebani Industri Nasional, bahkan hingga membengkakan biaya produksi hingga 40 %, menurut Djimanto salah satu Ketua DPP APINDO. Pungli sendiri tidak bisa dijelaskan sebagai persoalan yang terpisah dari rapuhnya Industri Dalam Negeri—yang menyebabkan produktifitas dan pendapatan rakyat secara umum rebdah—sehingga penghapusan pungli tidak bisa semata-mata persoalan penegakan hukum saja, melainkan juga persoalan pembangunan Industri Dalam Negeri yang tangguh.
6. Dominasi modal internacional tidak hanya dalam persoalan ketergantungan import bahan baku maupun teknologi, namun juga dalam pengusaan sumber-sumber energi yang dibutuhkan oleh Industri Nasional terutama migas dan batubara, yang menyebakan pasokan energi untuk Industri Nasional harus didapatkan dari import—sekalipun Indonesia memiliki sumber daya energi yang cukup, bahkan berlebih—
Dengan menggunakan boneka-bonekanya di dalam negeri, modal internacional berhasil membuat kebijakan enegri dalam negeri tidak diperuntukan demi kepentingan Industri Nasional, melainkan untuk kepentingan negara-negara imperialis itu, yang disahkan melului UU Penanaman Modal maupun UU Mineral maupun melalui berbagai regulasi lainnya, dimana pada intinya modal internacional diberikan ruang seluas-luasnya untuk mengusai sumber-sumber energi ini, dan bebas pula menentukan kemana energi ini akan disalurkan termasuk bebas menentukan harganya.
Politik energi keblinger inilah yang membuat pasokan energi bagi Industri dalam negeri selalu saja tidak cukup, itupun harus dibeli dengan harga Internasional. Sebagai contoh, Harga BBM (Solar) dan Batu Bara untuk Perusahaan Listrik Negara (PLN) harus dibeli dengan harga Internasional, itupun dengan stok yang sangat terbatas (selain karena mayoritas pemilik tambang migas dan batu bara adalah pemodal Internasional, juga ada kebijakan jatah penjualan dalam negeri/Domestic Market Obligation yang jauh dibawah kebutuhan energi dalam negeri). Demikian juga dengan Industri pupuk yang selalu kekuarangan gas, karena kebanyakan produksi gas justru dieksport, akibatnya pupuk menjadi mahal dan juga langka.
Ditengah situasi itulah, rezim SBY-Boediono menjalakan perdagangan bebas CHINA-ASEAN sebagai kelanjutan dari keputusan yang dibuat oleh Rezim Megawati-Hamzah Haz pada tahun 2002, yang membebaskan bea masuk barang dan jasa, termasuk liberalisasi modal.
Dengan perdagangan bebas ini, seluruh barang dan jasa di kawasan China dan ASEAN bisa bebas keluar masuk tanpa terkena biaya masuk (untuk beberapa pos , masih ada yang terkena biaya namun pada akhirnya semuanya akan dihapuskan) yang artinya produk-produk import baik dari China maupun dari negara-negara ASEAN akan membanjiri Indonesia, baik dengan kualitas dan harga yang lebih baik maupun dengan kualitas dan harga yang lebih buruk—namun pada umumnya kualitas dan harga barang-barang import lebih baik ketimbang produksi Industri Nasional—