Mohon tunggu...
Zalsabilla Faratria Dinda H
Zalsabilla Faratria Dinda H Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Airlangga

Saya adalah seorang mahasiswa Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Airlangga tahun 2021 yang tertarik ke dalam ranah lingustik serta isu-isu sosial di Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Stigma dan Representasi Kesehatan Mental di Media Sosial

4 Juli 2022   20:12 Diperbarui: 4 Juli 2022   20:53 651
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan Mental, sumber: unsplash.com

Isu kesehatan mental kini telah lebih dikenal oleh masyarakat Indonesia, terutama di kalangan generasi muda yang terbiasa mengakses dan mendapatkan informasi melalui media sosial

Banyak pengguna internet muda terus mempromosikan edukasi kesehatan mental dengan menyebarluaskan pengetahuan psikologis dan menghilangkan tabu mengenai gangguan mental. Hal ini dilakukan dengan harapan lingkungan sosial Indonesia nantinya akan lebih mendukung keberagaman kemampuan mental setiap orang.

Berbagai penelitian telah membuktikan relevansi keadaan psikologis seseorang dengan kesehatan fisiknya, baik secara langsung maupun tidak langsung. Contoh hubungan langsung dari keduanya ialah pengaruh peningkatan stres dan kecemasan terhadap sistem kekebalan tubuh setiap orang. Di sisi lain, hubungan tidak langsung dapat diwujudkan dengan memengaruhi proses berpikir, gaya hidup, interaksi sosial, dan lain sebagainya.

Dengan maraknya representasi kesehatan mental di media sosial, tentu timbul banyak pertanyaan bagi sebagian orang dan tidak jarang ditemukan komentar yang terkesan meremehkan urgensi isu-isu ini. Oleh karena itu, walau kesehatan mental telah lebih dibicarakan dan diterima di kalangan masyarakat saat ini, stigma dan stereotipe negatif mengenai kesehatan mental masih sangat melekat di budaya Indonesia.

Menurut psychiatry.org, lebih dari separuh penderita penyakit mental tidak menerima perawatan karena takut diperlakukan berbeda, diasingkan, atau bahkan digertak secara fisik maupun verbal. Belum lagi berbagai kerugian yang dapat mereka hadapi, seperti asuransi kesehatan yang tidak memadai, stigma di tempat kerja yang menyebabkan banyak hilangnya kesempatan, dan banyak lagi.

Seperti bentuk diskriminasi dan label stereotipe negatif lainnya, prasangka terhadap orang-orang dengan gangguan mental dapat diutarakan secara terbuka atau terselubung. Contoh stigma tersirat yang dapat ditemui ialah kurangnya dukungan dari orang-orang yang dipercaya, persepsi bahwa mereka dengan masalah mental itu tidak becus, pemahaman bahwa mereka-lah yang harus disalahkan, dan lain sebagainya. 

Walau mungkin tidak terlihat jelas di permukaan, tidak menutup kemungkinan bahwa bias-bias ini telah ada di benak mereka. Tanda-tanda diskriminasi yang lebih jelas dapat mencakup pelecehan psikologis dan fisik, intimidasi, tekanan untuk terus menyesuaikan diri dan membuat diri menjadi “normal”, dianggap berbahaya bagi masyarakat, dan banyak lagi.

Inilah mengapa sangat penting bagi kita untuk mengatasi stigma kesehatan mental dan menumbuhkan lingkungan yang ramah untuk representasi kesehatan mental di media, tentu tidak lupa untuk memastikan bahwa hal ini dilakukan seakurat mungkin. 

Representasi kesehatan mental tidak boleh menyebarkan hoax atau informasi yang rancu karena dapat menormalisasi deskripsi yang tidak akurat, memperbanyak fenomena diagnosis diri tanpa pihak profesional, serta memberi label negatif kepada orang lain. Bagi mereka yang telah menghadapi banyak kesulitan mental, hal ini dapat menjadi sangat berbahaya dan bahkan terkesan merendahkan.

Apa yang bisa kita lakukan untuk menghentikan ini? Kita bisa memulai dari diri kita masing-masing, misalnya dengan terus mencari tahu dan mengedukasi diri, mencoba berbicara lebih terbuka tentang kesehatan mental, serta selalu menunjukkan kasih sayang dan rasa peduli kepada orang-orang di sekitar kita.

Selanjutnya, kita dapat mendorong orang lain untuk melakukan hal yang sama dengan menyebarkan pengetahuan, memperjuangkan pemberdayaan, dan menanggapi mispersepsi tentang kesehatan mental. Dalam sebuah studi tahun 2018 oleh Victoria Rideout dan Susannah Fox, yang juga disponsori oleh Hopelab dan Well Being Trust (WBT), 90 persen remaja dan dewasa muda di antara usia 14 dan 22 dengan gejala depresi seringkali mencari tahu isu-isu kesehatan mental secara daring. Pengetahuan-pengetahuan ini biasanya didapat dari deskripsi pengalaman pribadi orang lain yang dijelaskan dalam blog, podcast, dan video.

Kampanye sosial juga tampaknya telah mendorong lebih banyak orang untuk memberantas stigma kesehatan mental, menurut penelitian yang dilakukan oleh Collins et al. (2019)

Hal ini didukung oleh penelitian pada tahun 2021 oleh van der Burgt et al., yang menyimpulkan bahwa kampanye juga dapat membantu meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya pengetahuan kesehatan mental dan mendorong orang untuk mencari bantuan. 

Sehingga, dapat disimpulkan bahwa ada banyak korelasi sebab dan akibat antara media sosial dan kesehatan mental, baik itu dalam mengedukasi orang lain maupun dalam memerangi stigma, atau menguatkan urgensi pentingnya memulai percakapan mengenai kesehatan mental. 

Sekarang giliran kita untuk membantu dengan membangun lingkungan sosial yang aman dan nyaman bagi mereka-mereka yang sedang berjuang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun