Banyak pengguna internet muda terus mempromosikan edukasi kesehatan mental dengan menyebarluaskan pengetahuan psikologis dan menghilangkan tabu mengenai gangguan mental. Hal ini dilakukan dengan harapan lingkungan sosial Indonesia nantinya akan lebih mendukung keberagaman kemampuan mental setiap orang.
Berbagai penelitian telah membuktikan relevansi keadaan psikologis seseorang dengan kesehatan fisiknya, baik secara langsung maupun tidak langsung. Contoh hubungan langsung dari keduanya ialah pengaruh peningkatan stres dan kecemasan terhadap sistem kekebalan tubuh setiap orang. Di sisi lain, hubungan tidak langsung dapat diwujudkan dengan memengaruhi proses berpikir, gaya hidup, interaksi sosial, dan lain sebagainya.
Dengan maraknya representasi kesehatan mental di media sosial, tentu timbul banyak pertanyaan bagi sebagian orang dan tidak jarang ditemukan komentar yang terkesan meremehkan urgensi isu-isu ini. Oleh karena itu, walau kesehatan mental telah lebih dibicarakan dan diterima di kalangan masyarakat saat ini, stigma dan stereotipe negatif mengenai kesehatan mental masih sangat melekat di budaya Indonesia.
Menurut psychiatry.org, lebih dari separuh penderita penyakit mental tidak menerima perawatan karena takut diperlakukan berbeda, diasingkan, atau bahkan digertak secara fisik maupun verbal. Belum lagi berbagai kerugian yang dapat mereka hadapi, seperti asuransi kesehatan yang tidak memadai, stigma di tempat kerja yang menyebabkan banyak hilangnya kesempatan, dan banyak lagi.
Seperti bentuk diskriminasi dan label stereotipe negatif lainnya, prasangka terhadap orang-orang dengan gangguan mental dapat diutarakan secara terbuka atau terselubung. Contoh stigma tersirat yang dapat ditemui ialah kurangnya dukungan dari orang-orang yang dipercaya, persepsi bahwa mereka dengan masalah mental itu tidak becus, pemahaman bahwa mereka-lah yang harus disalahkan, dan lain sebagainya.
Walau mungkin tidak terlihat jelas di permukaan, tidak menutup kemungkinan bahwa bias-bias ini telah ada di benak mereka. Tanda-tanda diskriminasi yang lebih jelas dapat mencakup pelecehan psikologis dan fisik, intimidasi, tekanan untuk terus menyesuaikan diri dan membuat diri menjadi “normal”, dianggap berbahaya bagi masyarakat, dan banyak lagi.
Inilah mengapa sangat penting bagi kita untuk mengatasi stigma kesehatan mental dan menumbuhkan lingkungan yang ramah untuk representasi kesehatan mental di media, tentu tidak lupa untuk memastikan bahwa hal ini dilakukan seakurat mungkin.
Representasi kesehatan mental tidak boleh menyebarkan hoax atau informasi yang rancu karena dapat menormalisasi deskripsi yang tidak akurat, memperbanyak fenomena diagnosis diri tanpa pihak profesional, serta memberi label negatif kepada orang lain. Bagi mereka yang telah menghadapi banyak kesulitan mental, hal ini dapat menjadi sangat berbahaya dan bahkan terkesan merendahkan.
Apa yang bisa kita lakukan untuk menghentikan ini? Kita bisa memulai dari diri kita masing-masing, misalnya dengan terus mencari tahu dan mengedukasi diri, mencoba berbicara lebih terbuka tentang kesehatan mental, serta selalu menunjukkan kasih sayang dan rasa peduli kepada orang-orang di sekitar kita.
Selanjutnya, kita dapat mendorong orang lain untuk melakukan hal yang sama dengan menyebarkan pengetahuan, memperjuangkan pemberdayaan, dan menanggapi mispersepsi tentang kesehatan mental. Dalam sebuah studi tahun 2018 oleh Victoria Rideout dan Susannah Fox, yang juga disponsori oleh Hopelab dan Well Being Trust (WBT), 90 persen remaja dan dewasa muda di antara usia 14 dan 22 dengan gejala depresi seringkali mencari tahu isu-isu kesehatan mental secara daring. Pengetahuan-pengetahuan ini biasanya didapat dari deskripsi pengalaman pribadi orang lain yang dijelaskan dalam blog, podcast, dan video.