"Itu bedanya sandi, Anak Muda! Tak harus turuti tata tulis, tata baca, dan tata-tata lainnya!"
"Sandi juga bahasa, kan?"
Aku ingat waktu itu. Mata Engkong menatapku lurus. Akupun tahu. Aku seperti seekor kancil yang bernyali mungil, tak sengaja menggelitik ketiak harimau yang sedang lapar.
Namun, akupun tahu, Engkong yang sejak lama kukenal, bukan lagi harimau lapar. Telah berubah seperti keran air. Jika dibuka, maka sentiasa mengalir arus hikmah bijaksana dan bijaksini. Pertanyaanku, memastikan keran itu terbuka.
"Bahasa itu ada yang baik, dan ada yang benar. Kau pernah dengar pakem ini?"
"Pernah!"
"Versi siapa?"
"EYD?
"Bukan!"
"Mosok PUEBI lagi? Kan sudah balik lagi..."
"Tidak!"
"KBBI?"
"No!"
"Ya udah. Menurut guru Bahasa Indonesia?"
Saat itu, tawa Engkong meledak usai mendengar jawaban terakhirku. Hanya sesaat. Aku menahan jengkel, melihat Tetua gang sapi itu gelengkan kepala. Jawaban terakhirku pun berujung keliru.
"Versi Pengguna!"
"Hah?"
"Begitu seharusnya! Bahasa yang baik dan benar itu tergantung siapa penggunanya. Jika kau pergi ke...."
Keran air seketika meminjam raga Engkong, dan mulai mengalirkan beragam kisah dan pengalaman yang dilandasi berbagai teori sebagai penguat argumentasi. Semua aliran kisah itu biasanya akan saling terhubung.
Demi suatu kebenaran dan pembenaran dari satu pertanyaan. Apatah lagi  jika berwujud satu bantahan.
"Begitu juga dengan bahasa sandi Majelis Rukun Gang Sapi. Tak harus tunduk dengan kaidah bahasa. Yang penting, penggunanya mengerti!"
Seingatku, saat itu tak lagi ada pertanyaan, apalagi bantahan dariku.
Tunggu aku di Pos Ronda!!!