Sesore ini, pos ronda di Gang Sapi tampak sepi.
Di belakang pos ronda itu, ada sebidang tanah kosong milik Engkong. Dulu, ada bangunan kayu sederharna. Yang dijadikan kandang sapi.
Aku tahu dari cerita Ayah, karena kandang itu, maka jalan kecil yang membelah barisan rumah warga ini, dinamakan gang sapi.
Lagi, dari cerita ayahku. Sapi yang dipelihara di kandang itu, jumlahnya selalu dua ekor. Dan, keduanya adalah sapi jantan. Engkong adalah pemilik kandang sekaligus pemilik kedua sapi itu.
Akupun jadi tahu, bahwa Engkong adalah pensiunan petani yang memilih berkarir sebagai peternak sapi.
Figurnya keras, namun baik hati. Buktinya, nama Engkong selalu berada di urutan teratas dari daftar nama peserta qurban yang tercantum di dinding mushalla. Setiap hari raya qurban, satu sapi jantan akan keluar dari kandang untuk diqurbankan.
"Engkong adalah peserta tetap, Nak!"
"Oh!"
"Jika tak ada sapi dari Engkong, maka tak akan ada daging qurban dari sapi. Selain itu, beduk mushalla pun, tak akan bisa tiap tahun berganti, kan?"
Kulit beduk di mushalla itu setiap tahun berganti. Tentu saja dari kulit sapi pemberian Engkong.
Saat itu, nyata terlihat wajah bangga ayah saat membicarakan kebaikan Engkong. Teman sehati sekaligas warga tertua Gang Sapi.
Hari-hari kemarin, Acapkali, kulihat Engkong bersama sekawan Gang Sapi, Paklek Rief, Pakde Rud dan Om Kape, duduk di pos ronda.