Semisal bermain kejar-kejaran (petak umpet), atau main cabur (main hadang) di halaman masjid yang luas. Atau berkeliling rumah-rumah tetangga untuk berburu cicak atau tokek. Alat berburunya? Karet gelang!
Bisa juga bermain sepak bola. Dan bolanya sekali pakai! Karena berbahan sampah kantong plastik, kardus atau koran bekas,, terus dibentuk mirip bola yang diikat tali plastik. Dan, berhenti ketika "bola" itu rusak! Besoknya? Jika mau main bola, yo sama-sama nyari sampah dulu!
Jika bosan bermain? Ya, berkumpul dan duduk nongkrong saja di halaman masjid. Sambil bertukar cerita, atau apalah-apalah khasnya polah para bocah di masa kanak-kanak.
Tapi ini serius! Bagiku, memiliki kebebasan pulang ke rumah nyaris larut saat itu, benar-benar istimewa. Sebab merasa diri seperti orang dewasa yang boleh pulang kapan saja. Ahaaaay....
Dan...
Anak-anak sekarang tak lagi punya waktu untuk saling berinteraksi, sebab waktu mereka acapkali didominasi aneka aplikasi yang ditawarkan oleh gadget.
Begitulah! Boleh jadi, kisah masa kecilku sebagai orang kampung ini adalah nostalgia receh. Namun, jika membandingkan dengan yang anakku lalui, itu menjadi tak lagi receh.
Saat kuceritakan ulang pada anakku, terutama tentang keasyikan bermain bersama teman-temanku dulu usai salat Tarawih. Tanggapan mereka?
"Hah! Main bola di halaman masjid? Malam-malam?"
"Berburu Cicak pakai karet gelang? Jahat!"
"Kalo main kejar-kejaran atau cabur, bukannya berkeringat? Pulang langsung tidur?"
"Kalau ada PR atau tugas sekolah, gimana?"
Curup, 02.04.2023
zaldy chan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H