Aku kembali tersesat di labirin kenangan. Usai ketika akan menulis tema samber hari 2: Nostalgia Masa Kecil di Bulan Ramadan.
Dan, aku tenggelam lebih dalam setelah membaca unggahan artikel dari beberapa Kompasianer pada hari ini. Ternyata, bulan Ramadan menyimpan begitu banyak kenangan dalam ingatan.
Gawatnya, aku malah jadi gagap sendiri untuk menentukan sudut tulisanku. Wong, nyaris mirip-mirip dengan tulisan teman-teman Kompasianer. Hiks...
Akhirnya, aku pilih menulis puzle nostalgia Ramadan pada masa sekolah dasar. Itupun sependekingatku. Boleh, kan?
Pertama. Kekadang, dibangunkan tidur untuk Sahur itu, menjengkelkan!
Adakah yang merasa senang dibangunkan ketika tidur nyenyak? Apatah lagi jika pusaran mimpi lagi seru-serunya? Bagiku, itu menjengkelkan! Apalagi, Kota Curup tempat tinggalku itu, berudara sejuk. Gegara terletak di kaki Bukit Barisan. Tapi, aku tak berani menunjukkan rasa jengkel itu. Wong, yang bangunkan itu ibuku!
Jadi, "perlawanan" yang dilakukan adalah: pura-pura tidur lagi. Biar dibangunkan lagi! Jika mesti bangun dan dipaksa bangkit dari tempat tidur, maka aku akan berlama-lama di kamar mandi, ketika membasuh muka dan tangan.
Bukan orangtua, jika tak mampu menghadapi "perlawanan" semacam itu, kan? Ada banyak cara yang dilakukan oleh ibuku. Semisal: memapah sambil memelukku agar bangkit dari tempat tidur, terus diantar serta ditunggui saat berada di kamar mandi. Lah, gimana rasanya ditunggu?
Kekadang, dibisikkan kalau menu sahur yang ibuku hidangkan adalah lauk kesukaanku! Nah, biasanya, walau setengah terpaksa, aku yo manut untuk sahur.
Dan, kenangan seperti itu, menjadi panduanku setelah menjadi orangtua. Hal-hal yang pernah dilakukan ibuku padaku ketika membangunkan sahur, kulakukan tiruannya pada anak-anakku. Walau tak persis sama dan butuh modifikasi sana-sini.