"Bilang ke Ibumu. Tolong bikinkan kopi!"
Bisikan ayah, meluncur deras di liang telingaku. Kurasakan suasana kaku di ruang tamu. Sekilas kutatap wajah para lelaki muda yang baru saja datang dan duduk di kursi kayu, sebelum bergerak ke arah pintu menemui ibu.
"Berapa orang yang datang?"
"Empat, Bu!"
"Nyalakan api!"
Aku bergegas ke arah tungku, saat melihat tangan ibu cekatan meraih empat gelas kosong yang tertungkup di rak bambu. Bagiku, lentik jemari ibu seperti penari Gending Sriwijaya, saat meracik gula dan bubuk kopi.
"Tak mau nyala, Bu!"
"Musim hujan. Kayunya basah! Coba cari yang kering, di kolong rumah!"
Aku berlari ke pintu, mengikuti perintah ibu. Kakiku tertatih menginjak lima anak tangga kayu, yang dibuat ayah dari potongan pohon kopi dan bambu.
"Basah juga, Bu! Â Jadi, Aku ambil yang paling bawah!"
Lima potong kayu kopi seukuran lengan orang dewasa, kuletakkan pada rak kayu bakar di atas tungku. Bilang ibu, itu cara gampang mengeringkan kayu, yang diajari nenekku dulu.
"Ambil satu, belah kecil-kecil! Lain kali, kalau menyalakan api, gunakan kayu kecil dulu! Makanya, sering-seringlah jenguk ibu. Biar tahu!"
Ibu tertawa. Kali ini, lentik jemarinya mengusap pelan kepalaku. Mataku menatap nyala api di tungku. Dan, malu segera menampakkan wujudnya di wajahku.