Mohon tunggu...
zaldy chan
zaldy chan Mohon Tunggu... Administrasi - ASN (Apapun Sing penting Nulis)

cintaku tersisa sedikit. tapi cukup untuk seumur hidupmu

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Ajari Aku Mencintai Jalan Pulang

6 Oktober 2022   17:55 Diperbarui: 6 Oktober 2022   22:04 961
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi jalan pulang. Sumber: Dorothe/pixabay.com

Tak banyak yang bisa kuceritakan padamu tentang langit.

Selain gumpalan awan mendung yang terbiasa menelan kecewa, tertatih menahan butir-butir hujan. Atau, belantara dirgantara yang dipaksa bersembunyi, terlatih membiru menyerupai lautan.

Kau mungkin enggan dan merasa bosan. Berkali mendengar kisah gerakan ritmis dan tarian erotis sepasang kupu-kupu, yang menikmati sepi. Sesekali berhenti di sehelai daun Akasia, menjumput sari setangkai Mawar yang berduri, atau sejenak singgah di rerimbunan putik Melati. 

Diam-diam merajut jalinan janji paling suci. Sehidup semati.

"Isi langit tak hanya kupu-kupu, Mas," ujarmu.

Aku pernah mengganti kisah. Ketika sepasang kupu-kupu berubah menjadi seekor elang. Sang petualang dan pemburu tangguh di cakrawala. Namun, tak pernah melupakan jalan pulang.

Baca juga: Cerpen: Pulang

"Ganti, Mas! Elang itu, sosok yang egois." Matamu menatapku.

Akupun mengerti makna tatapanmu. Dan, di sela-sela renyah tawa, sepasang mata indah milikmu lenyap di balik kelopak matamu. Saat aku berkisah tentang pesawat tempur yang tak pernah kulihat mendarat di bandara.

"Tak adakah kisah lain tentang langit?"

Genggam jemarimu, menyertai bisik lirihmu di telingaku. Saat itu, kubiarkan bisu bertamu di ruang dan waktu. Haruskah aku ceritakan padamu, jika langit adalah tempat persembunyian paling suci dari rasa sakit?

***

"Mas masih rindu?"

Sebelum pulang, kau sempat titipkan kalimat tanyamu untukku. Akupun mengingat segaris senyuman yang betah berdiam di bibirmu, serta tatap matamu yang menelisik jauh ke ruang terdalam di manik mataku. Kau mencari tahu. Dan, kau menunggu jawabku.

Begitu banyak yang ingin kuujarkan padamu tentang rindu. Tapi hanya mampu kutitipkan di laju waktu.

Aku terbiasa merelakan dinding bisu memaku satu pertanyaan sebagai sebuah jawaban: Akankah kau biarkan rinduku berdebu?

***

Tak banyak yang ingin kuceritakan tentang senja.

Selain himpunan asa yang sentiasa bernaung di bilik sepi untaian doa. Usai debu-debu waktu bergulir lelah menapaki jejak matahari. Menekan pusaran tanya, bila putaran hari akan berakhir?

Pernah ingin kuceritakan padamu. Bahwa senja adalah tempat berteduh serpihan rahasia rasa yang tak mampu merenangi gulir air mata. Namun, itu hanya sebatas keinginan. Ketika kubaca sebuah pertanyaan pada selembar goresanmu.

Kenapa harus ada air mata, Mas?

Bisa saja kuberikan jawaban. Air mata adalah sebuah keajaiban. Menafikan warna suka atau duka. Ia begitu saja mengalir di antara ruas-ruas rasa. Tanpa mata air. Tiba-tiba, dan tanpa aba-aba.

Kau mungkin akan mempertimbangkan hal itu, sebagai pilihan jawaban.

Atau, aku akan berlagak bak seorang filsuf yang gagal? Memilih merumitkan hal-hal yang sederhana, ketimbang menyederhanakan hal-hal yang rumit. Bagaimana jika kuujarkan padamu:

Air mata adalah upaya raga mewakilkan rasa, ketika tak mampu menemukan kata untuk menjelaskan makna sebenarnya.

Jika tanpa air mata. Senja pasti indah, Mas.

Aku mengingat kalimat terakhir tulisan tanganmu, pada selembar kertas putih yang terlihat buram, dan semakin kusam.

Kau lupa. Senjamu bukan lagi senjaku. Senjamu adalah titik persinggahan mentari usai merajai hari. Senjaku adalah titik penantian tunggu yang tak usai marajai hati.

Salahkah jika impian senjaku, menua bersamamu?

***

Apa yang harus kuujarkan padamu tentang kehilangan?

Apatah kembali menyusun ulang puing-puing ingatan yang berujung mozaik kepergian, atau menimbun debu kerinduan yang tenggelam di lumpur penantian?

Salahkah jika ingin kupahat satu permintaan: Ajari aku mencintai jalan pulang!

Curup, 06.10. 2022
zaldy chan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun