Kau mungkin akan mempertimbangkan hal itu, sebagai pilihan jawaban.
Atau, aku akan berlagak bak seorang filsuf yang gagal? Memilih merumitkan hal-hal yang sederhana, ketimbang menyederhanakan hal-hal yang rumit. Bagaimana jika kuujarkan padamu:
Air mata adalah upaya raga mewakilkan rasa, ketika tak mampu menemukan kata untuk menjelaskan makna sebenarnya.
Jika tanpa air mata. Senja pasti indah, Mas.
Aku mengingat kalimat terakhir tulisan tanganmu, pada selembar kertas putih yang terlihat buram, dan semakin kusam.
Kau lupa. Senjamu bukan lagi senjaku. Senjamu adalah titik persinggahan mentari usai merajai hari. Senjaku adalah titik penantian tunggu yang tak usai marajai hati.
Salahkah jika impian senjaku, menua bersamamu?
***
Apa yang harus kuujarkan padamu tentang kehilangan?
Apatah kembali menyusun ulang puing-puing ingatan yang berujung mozaik kepergian, atau menimbun debu kerinduan yang tenggelam di lumpur penantian?
Salahkah jika ingin kupahat satu permintaan: Ajari aku mencintai jalan pulang!