***
"Mas masih rindu?"
Sebelum pulang, kau sempat titipkan kalimat tanyamu untukku. Akupun mengingat segaris senyuman yang betah berdiam di bibirmu, serta tatap matamu yang menelisik jauh ke ruang terdalam di manik mataku. Kau mencari tahu. Dan, kau menunggu jawabku.
Begitu banyak yang ingin kuujarkan padamu tentang rindu. Tapi hanya mampu kutitipkan di laju waktu.
Aku terbiasa merelakan dinding bisu memaku satu pertanyaan sebagai sebuah jawaban: Akankah kau biarkan rinduku berdebu?
***
Tak banyak yang ingin kuceritakan tentang senja.
Selain himpunan asa yang sentiasa bernaung di bilik sepi untaian doa. Usai debu-debu waktu bergulir lelah menapaki jejak matahari. Menekan pusaran tanya, bila putaran hari akan berakhir?
Pernah ingin kuceritakan padamu. Bahwa senja adalah tempat berteduh serpihan rahasia rasa yang tak mampu merenangi gulir air mata. Namun, itu hanya sebatas keinginan. Ketika kubaca sebuah pertanyaan pada selembar goresanmu.
Kenapa harus ada air mata, Mas?
Bisa saja kuberikan jawaban. Air mata adalah sebuah keajaiban. Menafikan warna suka atau duka. Ia begitu saja mengalir di antara ruas-ruas rasa. Tanpa mata air. Tiba-tiba, dan tanpa aba-aba.