Mohon tunggu...
zaldy chan
zaldy chan Mohon Tunggu... Administrasi - ASN (Apapun Sing penting Nulis)

cintaku tersisa sedikit. tapi cukup untuk seumur hidupmu

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Selalu Ada Perubahan

20 September 2022   21:29 Diperbarui: 22 September 2022   12:54 489
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Membosankan!"

Lelaki berbaju batik itu menatapku, sambil melemparkan map berwarna hijau. Beberapa lembar kertas putih tersebar. Tanpa suara, kedua tanganku bergerak cepat merapikan meja berbahan kayu jati itu.

"Kembalikan! Cari disain kegiatan ini. Dan Kau analisa draft anggarannya. Sesuai atau tidak!"
"Aku? Tapi ini bukan..."
"Dengar! Aku minta laporan kegiatan. Bukan pamer foto!"

Sepasang mata menatapku tajam. Aku sangat mengenal sosok yang sekarang berdiri di balik meja. Sesaat sunyi. Hingga nada dering ponsel, terdengar dari atas meja.

Sepasang mata Ari, menatapku. Kemudian beralih ke pintu. Akupun beranjak dari tempat dudukku. Bersiap pergi.

"Maafkanlah! Kau mengerti situasi yang kuhadapi saat ini, kan?"

***

Baca juga: Cerpen | Pulang

"Masuklah!"

Kukuak setengah pintu. Senyum Ari menyambutku di belakang meja, ketika langkah kakiku mendekat. Tubuh tegap Ari tergesa berdiri menghampiri. Kuajukan tangan kananku.

"Selamat! Semoga...."
"Lupakanlah! Aku tak butuh basa-basimu."

Tangan kananku tenggelam dalam genggaman tangan yang kuat dan erat. Tanpa melepaskan genggamannya, Ari mengajak tubuhku untuk duduk di kursi tamu.

"Kopi?"
"Boleh!"

Ari beranjak kembali ke belakang meja. Dalam hitungan detik, sosok berparas cantik hadir di tengah pintu. Sekilas, melempar senyum padaku. Sebelum melangkah sopan ke arah Ari.

"Kopi dua! Satu tanpa gula, ya?"

Hanya anggukan kepala. Tanpa suara.  Tubuh perempuan muda itu, menghilang di balik pintu. Menyisakan aroma wangi yang menguasai ruangan.

"Cantik, kan?"

Ari tersenyum menggoda. Dan, tertawa saat kukedipkan kedua mata.

"Sekarang, Kau pejabat atau pesulap?"

Kali ini, tawa Ari terdengar lebih keras. Ia memaklumi arah pertanyaanku. Dan, aku tahu. Ari memiliki alat khusus di balik meja itu, untuk memanggil perempuan cantik tadi.

"Aku hanya mencoba menggunakan fasilitas ruangan yang tadi pagi, dijelaskan panjang kali banyak oleh asistenku."
"Perempuan tadi?"
"Bukan!"
"Syukurlah!"

Ari kembali duduk di sampingku. Sedikit sungkan, Ari mengulang penjelasan asistennya pagi tadi. Ada tiga tombol dengan warna berbeda di dekat laci meja kerjanya. Warna kuning, untuk memanggil asisten. Warna hijau memanggil perempuan cantik tadi, dan warna merah untuk memanggil satpam.

"Sejak pagi hingga istirahat siang ini, tombol warna apa yang sering kau gunakan?"

Aku menatap wajah Ari dengan rasa ingin tahu. Ari membalas tatapanku.

"Coba tebak?"
"Hijau?"
"Baru sekali. Itupun karena kau yang datang!"
"Kuning?"
"Belum. Pagi tadi, ia datang tanpa kupanggil. Memberikan agenda hari ini!"
"Jejangan warna merah?"
"Juga sekali. Meminta untuk menolak semua tamu!"

Ketukan pelan kembali terdengar di pintu, dan kembali aroma wangi yang pekat menyeruak seisi ruangan. Langkah kecil dan teratur bergerak perlahan. Aku dan Ari memilih diam, ketika dua gelas kopi terhidang di atas meja tamu.

"Terima kasih, ya?"

Anggukan sopan perempuan itu tertuju ke Ari. Kemudian kepadaku. Sebelum berbalik badan, dan menghilang di balik pintu.

"Dia manusia, kan?" 

Ari terbahak mendengar pertanyaanku. Akupun ikut tertawa.

"Aku mengerti maksudmu. Besok, kujamin tombol sialan itu tak lagi ada di mejaku!"
"Kenapa? Bukannya..."
"Aku tak setuju manusia dijadikan robot!"

***
"Ada berapa?"
"103!"
"Kau punya data pengirimnya?"
"Ada! Lima dari parpol, tujuh belas dari mitra di kantor lama. Dan sebelas dari perwakilan perusahaan mitra usaha Pemda."
"Sisanya?"

Satu menit berlalu. Kedua jempolku tergantung di layar ponsel tanpa menyentuh layar. Nada dering khusus terdengar. Tak sampai hitungan detik, nama Ari muncul di layar ponsel.

"Halo?"
"Kenapa tak lagi kau balas?"

Terdengar nada suara menahan geram. Mataku menatap kertas berisikan tulisan tanganku. Butuh waktu lima jam, untuk mencatat dan menelusuri asal-usul karangan bunga ucapan selamat, yang memenuhi tepian jalan di depan kantor baru Ari.

"Hei! Kau dengar suaraku, kan?"
"Iya. Dan sangat jelas."
"Terus?"
"Sisanya, karangan bunga dari kepala dinas dan instansi!"

Sayup kudengar makian Ari, sebelum ponsel ditutup.

***

Tak ada senyuman Ari, saat menyambut kedatanganku dari balik pintu. Sorot matanya memintaku untuk segera duduk di hadapannya. Pun, tak ada tawaran segelas kopi atauair putih sekadar penawar dahaga.

"Gila! Anggaplah, satu karangan bunga seharga limaratus ribu. Berapa anggaran yang terbuang sia-sia?"
"Tapi, belum tentu itu menggunakan anggaran kantor!"
"Maksudmu kocek pribadi?"
"Bisa jadi, kan?"
"Lupakanlah! Kau cari tahu tentang itu."

***

Di kejauhan. Di bawah terik mentari. Kulihat tubuh tua itu, masih betah merangkai bunga plastik warna-warni berbentuk hiasan dan bentuk ucapan, yang ditempel di atas selembar triplek yang ditutupi kain beludru berwarna hitam.

"Wah! Banyak pesanan?"
"Hari ini ada lima. Dua pelantikan, satu untuk pernikahan, dan dua lagi ucapan dukacita!"

Ari tersenyum riang, sambil menarik tanganku, agar segera berteduh di beranda rumah, yang disesaki ratusan triplek tanpa bunga dan ucapan.

"Lumayan. Sambil mengisi masa pensiun!"
"Baru setahun, kan?"
"Kopi?"
"Boleh. Tapi tanpa gula."
"Selalu ada perubahan."

Ari tersenyum sambil meraih benda kecil yang tergeletak di atas bangku panjang berbahan bambu. Aku tertawa melihat Ari menggerakkan lonceng berbahan kuningan itu tiga kali.

"Jangan protes! Ternyata, bunyi lonceng ini lebih efektif!"

Sepasang mata tua milik Ari menatap ke arah pintu. Mataku menatap seraut wajah menahan lelah di hadapanku. Dan, akupun setuju. Ari sudah berubah.

Curup, 20.09.2022
zaldychan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun