"Halo?"
"Kenapa tak lagi kau balas?"
Terdengar nada suara menahan geram. Mataku menatap kertas berisikan tulisan tanganku. Butuh waktu lima jam, untuk mencatat dan menelusuri asal-usul karangan bunga ucapan selamat, yang memenuhi tepian jalan di depan kantor baru Ari.
"Hei! Kau dengar suaraku, kan?"
"Iya. Dan sangat jelas."
"Terus?"
"Sisanya, karangan bunga dari kepala dinas dan instansi!"
Sayup kudengar makian Ari, sebelum ponsel ditutup.
***
Tak ada senyuman Ari, saat menyambut kedatanganku dari balik pintu. Sorot matanya memintaku untuk segera duduk di hadapannya. Pun, tak ada tawaran segelas kopi atauair putih sekadar penawar dahaga.
"Gila! Anggaplah, satu karangan bunga seharga limaratus ribu. Berapa anggaran yang terbuang sia-sia?"
"Tapi, belum tentu itu menggunakan anggaran kantor!"
"Maksudmu kocek pribadi?"
"Bisa jadi, kan?"
"Lupakanlah! Kau cari tahu tentang itu."
***
Di kejauhan. Di bawah terik mentari. Kulihat tubuh tua itu, masih betah merangkai bunga plastik warna-warni berbentuk hiasan dan bentuk ucapan, yang ditempel di atas selembar triplek yang ditutupi kain beludru berwarna hitam.
"Wah! Banyak pesanan?"
"Hari ini ada lima. Dua pelantikan, satu untuk pernikahan, dan dua lagi ucapan dukacita!"
Ari tersenyum riang, sambil menarik tanganku, agar segera berteduh di beranda rumah, yang disesaki ratusan triplek tanpa bunga dan ucapan.