"Sejak pagi hingga istirahat siang ini, tombol warna apa yang sering kau gunakan?"
Aku menatap wajah Ari dengan rasa ingin tahu. Ari membalas tatapanku.
"Coba tebak?"
"Hijau?"
"Baru sekali. Itupun karena kau yang datang!"
"Kuning?"
"Belum. Pagi tadi, ia datang tanpa kupanggil. Memberikan agenda hari ini!"
"Jejangan warna merah?"
"Juga sekali. Meminta untuk menolak semua tamu!"
Ketukan pelan kembali terdengar di pintu, dan kembali aroma wangi yang pekat menyeruak seisi ruangan. Langkah kecil dan teratur bergerak perlahan. Aku dan Ari memilih diam, ketika dua gelas kopi terhidang di atas meja tamu.
"Terima kasih, ya?"
Anggukan sopan perempuan itu tertuju ke Ari. Kemudian kepadaku. Sebelum berbalik badan, dan menghilang di balik pintu.
"Dia manusia, kan?"Â
Ari terbahak mendengar pertanyaanku. Akupun ikut tertawa.
"Aku mengerti maksudmu. Besok, kujamin tombol sialan itu tak lagi ada di mejaku!"
"Kenapa? Bukannya..."
"Aku tak setuju manusia dijadikan robot!"
***
"Ada berapa?"
"103!"
"Kau punya data pengirimnya?"
"Ada! Lima dari parpol, tujuh belas dari mitra di kantor lama. Dan sebelas dari perwakilan perusahaan mitra usaha Pemda."
"Sisanya?"
Satu menit berlalu. Kedua jempolku tergantung di layar ponsel tanpa menyentuh layar. Nada dering khusus terdengar. Tak sampai hitungan detik, nama Ari muncul di layar ponsel.