"Mas, pernah melukis langit?"
Akupun menengadah. Mataku mengikuti tatapanmu yang lelah. Sejenak melupakan jejak-jejak bisu, yang sejak tadi menemani riak risau yang beku. Menyajikan rentak tarian hampa di laju waktu.
Di langit, warna kelabu masih betah bertahan. Bergelayut di antara lipatan-lipatan awan. Agaknya menitip pesan, tak akan ada lekuk pelangi yang disisakan hujan.
"Aku ingin melukis langit, Mas!"
Kali ini, tatapanku terdampar di wajahmu. Dan aku mengerti. Senja ini, lekuk pelangi tak akan terlihat di langit seusai hujan. Ia masih tersesat di ruang persembunyian.
Di matamu. Dalam tangismu.
***
Langit masih disibukkan antrian rinai hujan. Begitu juga ruang tamu yang dipaksa menjamu bisu.
"Mas tak pernah memberiku bunga, kan? Padahal Mas tahu, Aku suka bunga."
Seperti senja-senja kemarin. Tanyamu adalah pengusik bisu yang acapkali merajai ruang tamu. Pun, seperti kemarin. Tak ada gores lembut jemarimu pada bentangan kain putih yang terpasak di hadapanmu.