"Kenapa diam?"
Aku percaya dengan cerita kakekku. Jika, perempuan tua yang duduk di hadapanku ini cantik. Dulu. Sebelum menikah, dan sebelum kematian ibuku.
Kecantikan nenekku kembali berkurang, ketika  kakek tak lagi pernah pulang. Jasad tua itu, ditemukan membeku di kamar mandi, jelang azan subuh. Kejadian itu, satu hari sebelum hari ulang tahunku yang kelima.
Tak lagi ada kecantikan yang melekat di wajah nenekku. Saat ledakan tabung gas berwarna hijau itu menghanguskan rumahku. Dan, tubuh kurus ayahku. Di malam tahun baru. Sebelas tahun lalu.
"Dia bukan teman ayahku, kan?"
"Lelaki itu...."
"Jika teman ayahku. Dia tak akan menanyakan tentang namaku, Nek!"
"Salahku. Seharusnya aku melupakan...."
Akupun ingin lupa. Jika perjumpaan itu berakhir tanpa rasa iba. Tanpa air mata.
***
"Berapa usia nenekmu?"
"Mungkin delapan puluh!"
Lelaki berpeci hitam, yang sering kujumpai saat menjadi imam salat jumat di masjid itu, menatapku. Hanya sesaat, sebelum menggerakkan spidol berwarna hitam di tangan ke nisan kayu.
Gundukan tanah merah itu masih basah. Menimbun jasad beku saksi sejarah. Sejarah rahasia namaku.
***