"Menurut Abang, bagaimana mengisi kemerdekaan?"
"Lah, emang selama ini, kosong?"
Pertanyaan dan jawaban di atas agaknya hadir, usai teman-teman Kompasianers membaca kalimat penutup ajakan ikut event menulis yang digawangi Komunitas Penulis Berbalas.
Event itu memang menyisipkan tujuan: "Mengisi Kemerdekaan RI dengan Sikap Positif".
Berpijak dari tujuan yang tertera, tentu saja tak selugas jawaban kelirumologiku itu, kan? Boleh jadi, ada bangunan asumsi kenapa lahir tujuan itu. Misalnya?
Pertama, tentang Mengisi Kemerdekaan.
Adalah benar, dalam alur sejarah, kemerdekaan RI sudah menginjak usia 77 pada tahun ini. Namun, belum semua aspek berbangsa dan bernegara tersentuh aura kemerdekaan. Sehingga butuh kata "mengisi" sebelum kata kemerdekaan.
Jika rujukan harfiah, kata mengisi muncul karena dihadapkan pada atau dengan sesuatu yang kosong. Apatah kemerdekaan ini benar-benar kosong?
Jejangan, sesungguhya tidaklah kosong. Isinya ada, tapi tampak tiada dan terasa hampa? Terus akan ada pertanyaan susulan: Keadaan itu versi siapa?
Kedua, tentang Sikap Positif.
Boleh jadi, ajakan mengisi kemerdekaan dengan sikap positif itu, lahir dari bangunan asumsi: Bahwa kondisi serta situasi bangsa dan negara sedang dipenuhi sikap-sikap negatif?
Agaknya, bukan meracik tuduhan jika selama masa kemerdekaan ini tak ada sikap positif. Tetapi, gegara dominasi sikap negatif yang kerap hadir di permukaan, sehingga sikap dan perilaku positif anak bangsa jadi tersisihkan?