Mohon tunggu...
zaldy chan
zaldy chan Mohon Tunggu... Administrasi - ASN (Apapun Sing penting Nulis)

cintaku tersisa sedikit. tapi cukup untuk seumur hidupmu

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Tak Ada dalam Buku Sejarah

17 Agustus 2022   17:41 Diperbarui: 18 Agustus 2022   21:13 611
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bendera merah putih berkibar di Hotel Yamato kini bernama Hotel Majapahit| Sumber: Wikipedia/Nationaal Museum van Wereldculturen via Kompas.com

"Begitulah! Akhirnya, bendera di hotel Yamato tinggal dua warna. Merah dan putih!"

Tampak wajah-wajah lega memenuhi Balai Agung. Namun masih tanpa suara. Di antara mereka, hanya saling bertukar pandang, ada juga yang mengangkat kedua lengan seraya memamerkan otot layaknya superhero.

Di pojok kanan barisan yang duduk paling belakang, mata si Ragil, sejak tadi tak henti menatapku.

Kulempar pandang pada seorang anak perempuan berpakaian putih merah yang duduk di barisan paling depan. Kuajukan ibu jari tangan kananku, sambil anggukkan kepala.

Satu tepukan kencang tiba-tiba memecah suasana. Dimulai dari pojok kanan barisan paling belakang. Kemudian menular ke bagian tengah, hingga terdengar gemuruh tepuk tangan dari anak-anak.

Tepuk tangan pertama, setelah tigapuluh menit berlalu, dan kusudahi kisah pertamaku.

"Ada yang berani melakukan seperti para pejuang itu?"

Tak ada sahutan. Berpasang-pasang mata beredar di sekitar Balai Agung. Mencari tahu sosok pemberani di antara mereka. Kutunggu dua menit. Tak ada suara atau jari telunjuk yang mengudara.

"Mereka berani mati! Sebab, warna merah dan putih itu bukan hanya warna bendera, tapi harga diri! Mereka bersedia serahkan nyawa untuk kehormatan negara!"

Balai Agung kembali hening. Kurasakan, nada suaraku terdengar keras dan bergetar. Wajah anak perempuan yang kuberikan ibu jari tadi terlihat beku. Sudut mataku, menangkap sosok si Ragil yang bergerak pelan ke pojok kiri. Masih di barisan belakang.

"Kamu bisa manjat pohon?"

Kuajukan satu pertanyaan, dan jari telunjukku mengarah pada seorang anak laki-laki bertubuh besar, berpakaian putih abu-abu, yang sejak tadi kulihat duduk dengan gelisah di hadapanku. Wajah gagap dan satu gelengan ragu tersaji untukku.

"Coba jawab pakai suara, ya? Kamu belum pernah memanjat pohon?"
"Belum!"
"Di rumah tak ada pohon?"
"Gak ada!"
"Di sekitar rumah? Atau mungkin di sekolah?"
"Gak ada juga, Kek!"
"Naik tangga bisa, kan?"
"Bisalah! Sekolahku lantai tiga!"

Anak lelaki itu menjawab sambil tertawa. Diikuti suara tawa dari beberapa anak yang duduk di barisan paling depan, yang menyimak percakapan dua arah antara aku dan anak lelaki bertubuh besar itu.

"Adakah di antara kalian yang bisa memanjat pohon?"

Suaraku kembali bergetar. Aku penasaran. Kukira, mungkin ada seratus anak atau bahkan lebih. Yang duduk di lantai Balai Agung ini. Tak ada seorang pun yang mau mengacungkan jari telunjuk.

"Tak ada? Bagaimana jika pada saat upacara tadi, ketika bendera akan dikibarkan, ternyata talinya putus?"

Tak ada suara.

"Atau kalian akan membiarkan lelaki tua sepertiku, musti memanjat tiang bendera yang tingginya mengerikan itu? Apa kalian tak kasihan?"

Kali ini. Suara tawa terdengar bergema. Kutatap wajah Ragil yang sejak tadi menunggu aba-aba dariku. Perlahan, kuacungkan ibu jari tangan kananku ke arah bawah. Suara tawa kembali bergema.

***
Dari sudut kiri barisan depan, satu sosok berseragam dan berbadan tegap, menghampiriku. Bisikan singkat dan jelas segera singgah di liang telingaku.

"Maaf, Kek! Hampir pukul tiga. Anak-anak mesti bersiap untuk gladi resik upacara penurunan bendera."
"Bukannya jadwalku hingga jam empat?"
"Pergeseran jadwal, Kek!"
"Beri waktu sepuluh menit. Aku harus ceritakan satu kisah lagi. Tentang anak...."
"Maaf! Ini perintah dari...."

Kalimat lelaki berbadan tegap itu terhenti. Sekilas anggukkan kepala, memintaku untuk mengerti.

"Tapi...," Kalimatku tersekat, saat mataku melihat anak-anak beranjak dari lantai ubin tempat duduk mereka.

Beberapa orang panitia yang kutemui ceria pagi tadi, tampak terburu dan sibuk memberi arahan pada seratusan anak-anak itu untuk segera meninggalkan Balai Agung. Termasuk sosok tegap yang baru saja bertukar bisikan denganku.

Mataku menatap tubuh-tubuh letih berseragam sekolah itu, bergerak tertib menuju lapangan untuk melengkapi prosesi upacara. Kembali mengulang seperti pagi tadi. Bedanya, kali ini penurunan bendera.

"Kenapa jempol Ayah, hanya bergerak satu kali?"
"Lupakanlah!
"Tadi ada pesan panitia. Ambil uangnya, setelah upacara penurunan bendera!"
"Biarlah! Hayuk, pulang!"
"Kenapa Ayah...."

Tertatih, kuayun langkah beserta tongkat kayu jatiku. Tergesa, meninggalkan si Ragil, dan mengabaikan sapaan dari beberapa lansia berseragam sepertiku, saat berpapasan.

***

"Ayah!"

Tergopoh berusaha menyamakan langkah, tangan si Ragil memegang pelan lengan kiriku. Membuat langkah dan ketukan tongkatku menemukan kembali irama harmoni agar segera menjauh dari Balai Agung.

"Dengarkan! Aku tak mau lagi bercerita tentang sejarah. Tidak juga besok atau tahun depan. Sesungguhnya, mereka tak pernah ingin mengetahui sejarah di hari kemerdekaan ini, kan? Mereka hanya ingin...."

Ragil membisu. Hingga langkah kakiku terheti di samping motor. Tangannya melepas pegangan dari lenganku, kemudian memperbaiki posisi motor, agar mudah dinaiki oleh tubuh tuaku.

"Kau tahu, kisah bocah asal Atambua yang nekad memanjat tiang bendera, karena talinya putus, kan?"
"Iya. Berita itu sempat viral."
"Seharusnya, Petugas tadi membiarkanku berkisah tentang keberanian anak kecil itu. Kisah itu, memang tak ada dalam buku sejarah. Tapi peristiwa itu sudah menjadi sejarah!"

Ragil kembali memilih bisu. Dia tahu, jika situasiku seperti hari ini. Diam adalah pilihan terbaik.

Mataku mengarah pada kerumunan para peserta yang mengikuti gladi resik upacara penurunan bendera. Titik pandangku terhenti di tengah lapangan, dwiwarna merah dan putih berayun riang oleh tiupan angin Agustus yang gersang.

"Jadi kita pulang, Yah?"
"Diamlah!"

Curup, 17.08.2022
zaldychan

Diolah (Sumber gambar: kompas.com)
Diolah (Sumber gambar: kompas.com)

Catatan:
Insiden Hotel Yamato adalah peristiwa perobekan warna biru pada bendera Belanda yang berkibar di Hotel Yamato (kini Hotel Majapahit) pada tanggal 19 September 1945.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun