"Kamu bisa manjat pohon?"
Kuajukan satu pertanyaan, dan jari telunjukku mengarah pada seorang anak laki-laki bertubuh besar, berpakaian putih abu-abu, yang sejak tadi kulihat duduk dengan gelisah di hadapanku. Wajah gagap dan satu gelengan ragu tersaji untukku.
"Coba jawab pakai suara, ya? Kamu belum pernah memanjat pohon?"
"Belum!"
"Di rumah tak ada pohon?"
"Gak ada!"
"Di sekitar rumah? Atau mungkin di sekolah?"
"Gak ada juga, Kek!"
"Naik tangga bisa, kan?"
"Bisalah! Sekolahku lantai tiga!"
Anak lelaki itu menjawab sambil tertawa. Diikuti suara tawa dari beberapa anak yang duduk di barisan paling depan, yang menyimak percakapan dua arah antara aku dan anak lelaki bertubuh besar itu.
"Adakah di antara kalian yang bisa memanjat pohon?"
Suaraku kembali bergetar. Aku penasaran. Kukira, mungkin ada seratus anak atau bahkan lebih. Yang duduk di lantai Balai Agung ini. Tak ada seorang pun yang mau mengacungkan jari telunjuk.
"Tak ada? Bagaimana jika pada saat upacara tadi, ketika bendera akan dikibarkan, ternyata talinya putus?"
Tak ada suara.
"Atau kalian akan membiarkan lelaki tua sepertiku, musti memanjat tiang bendera yang tingginya mengerikan itu? Apa kalian tak kasihan?"
Kali ini. Suara tawa terdengar bergema. Kutatap wajah Ragil yang sejak tadi menunggu aba-aba dariku. Perlahan, kuacungkan ibu jari tangan kananku ke arah bawah. Suara tawa kembali bergema.
***
Dari sudut kiri barisan depan, satu sosok berseragam dan berbadan tegap, menghampiriku. Bisikan singkat dan jelas segera singgah di liang telingaku.