Mohon tunggu...
zaldy chan
zaldy chan Mohon Tunggu... Administrasi - ASN (Apapun Sing penting Nulis)

cintaku tersisa sedikit. tapi cukup untuk seumur hidupmu

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Andai Penggaris sebagai Titik Pijak Kebajikan

12 Agustus 2022   22:57 Diperbarui: 17 Agustus 2022   00:24 1211
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sesiapa pun yang pernah sekolah, akan mengenal, mengetahui atau pernah menggunakan penggaris, kan?

Bagiku, kebajikan seperti penggaris. Tak hanya menghadirkan kebaikan, keselamatan atau kebahagiaan. Namun, menjadi pagar perilaku. Sehingga bermuara pada rumusan "Bajik dan Bijak".

Andai Penggaris sebagai Titik Pijak Kebajikan

Mengutip Wikipedia, penggaris disinyalir telah digunakan tahun 1500 SM. Penggaris pertama ditemukan di Lembah Indus, berbahan dasar gading. Sejarah lengkapnya, sila ulik di Mbah Gugel, ya?

Sesuai sebutannya, penggaris berfungsi menjadi pemandu untuk membuat garis. Tujuannya tak hanya agar terlihat rapi, tapi juga terukur.

Hematku, menjadi keliru bila menganggap tugas penggaris adalah untuk menciptakan garis lurus.

Wong, selain berbentuk lurus, ada juga penggaris berbentuk segitiga, penggaris model busur yang setengah lingkaran, hingga penggaris pemandu bulatan saat pengisian lembar jawaban.

Dan, kudengar, sekarang juga ada penggaris alis. Jadi rada aneh, jika alis terlihat lurus, tah? Nanti malah bingung jika ditanya, itu alis atau tiang jembatan? Halah!

Seakan-akan, penggaris menyimpan pesan. Lakukan sesuatu secara teratur dan terukur.  Jadi, ketika melukis garisnya, ojo nyablak keluar dari tepian penggaris.

Masa aku sekolah dulu, penggaris tak sekadar berfungsi sebagai alat pengukur. Namun, bisa berperan sebagai pengatur sekaligus alat pemukul!

Jika kelas ribut, maka penggaris akan bermesraan dengan papan tulis. Diiringi nada suara yang khas: "Diaaam!"

Jika hari senin telat upacara, ketika tak membuat PR atau melanggar aturan sekolah, acapkali penggaris urun saran ke telapak tangan atau betis. "Tepis! Pedis! Piss!"

Jika hari jumat, penggaris bertugas di gerbang sekolah. Mencari kuku jari tangan yang panjang dan hitam. "Jika lolos, akan aman. Jika gagal, rasakan!"

Ketiga fungsi sampingan penggaris itu seakan menitip pesan. Penggaris kerap hadir jika melakukan kesalahan. Agaknya, Penggaris menyelipkan dan mengajarkan satu filosofi ngasal:

"Agar tak melakukan kesalahan, jangan keluar dari garis yang sudah ditentukan."

pixabay
pixabay

Katakanlah, Menanam Kebajikan

Belum usai, jika memaknai Kebajikan sebatas penggaris. Sebab, kebajikan tak hanya sikap dan perilaku. Namun, juga menuntut kesinambungan atau terus menerus.

Karena itu, aku sepakat dengan frasa "Menanam Kebajikan". Karena, kata menanam bisa menjamin keberlanjutan dari kebajikan. Kok bisa?

Pertama. Mulanya, Siapapun Bisa Menanam.

Tak ada batasan dan jenjang usia. Siapapun bisa jadi penanam. Apatah melalui cara bertanam biji, stek atau cangkok. Tinggal sediakan tanah, masukkan ke dalam satu wadah, terus timbun, tusuk atau apalah-apalah.

Lah, wong gak ditanam saja, kekadang bisa tumbuh? Iya, tah?

Tak salah, jika usai menanam bibit durian, kemudian berharap buahnya lebat, besar dengan cita rasa yang lezat bin ajib. Pun tak juga salah, berlagak bak pendongeng yang menimang harapan meraih panen impian di masa depan.

Adalah keliru, apabila usai menanam bibit durian, berharap buahnya berupa duku, alpukat, nanas, semangka atau malah jambu biji. Mendongeng memang butuh hayalan. Namun, menghayal ojo kebablasan. Iya, kan?

Kedua. Menanam Itu seperti Seorang Ibu.

Tak bermaksud berfilosofis atau mengubah peran sebagai ahli hikmah yang bijaksana-sini. Namun, jika menanam, apapun itu, terkadang mesti berlaku seperti seorang ibu yang merawat dan membesarkan. Tak hanya sekadar memelihara janin dalam rahim dan melahirkan.

Tugas pertama seorang ibu usai lahiran, memastikan anaknya mereguk ASI. Ibu berganti peran bak tukang ledeng yang memastikan aliran air tak tersendat pada pelanggan. Dan itu tanpa tagihan.  Begitu juga penanam! Mesti memberikan asupan gizi bagi tanaman tanpa kepastian. Kecuali harapan hal itu akan menghasilkan.

Terkadang, ibu berperan sebagai tukang ronda yang memastikan keamanan dan kenyamanan sang anak agar tertidur pulas. Begitupun tanaman. Agar tumbuh nyaman dan hasil maksimal, tanaman pun butuh rasa aman dari ancaman dan gangguan. Semisal hama.

Boleh jadi, tetiba seorang ibu berubah menjadi sosok suster dan dokter walau tak berbasis keilmuan. Namun hasil diagnosis hadir seiring pengalaman. Para penanam juga begitu! Misal, tiga pohon cabai yang ditanam serentak, yang satu tumbuh kerdil, satunya berbuah lebat, yang satu lagi berbunga tapi selalu rontok.

Di luar itu, ada lagi fungsi ibu. Sebagai anggota inti dinas kebersihan rumah, menyamar sebagai Master chef, bahkan berlagak bak pemilik toko serba ada. Apapun kebutuhan yang diminta si buah hati,  diusahakan ada. Walaupun, isi kepala keluyuran memikirkan caranya.

Ketiga. Berlatih Menerima Keadaan.

Terkadang, ada saja terdengar atau tersiar kisah duka dari para penanam. Setelah semua tahapan dilakukan, ternyata hasil panen tak sesuai harapan. Mungkin gagal panen, hasil tak maksimal atau malah mengalami kerugian. Hiks...

Kok bisa? Sebab, seperti ibu, penanam hanya berusaha untuk memenuhi kebutuhan. Bukan pembaca masa depan!

Begitu juga dengan menanam kebajikan. Mencoba menghadirkan kebaikan, keselamatan, dan kebahagian dalam bingkai kebijakan. Tak perlu alasan, balasan atau sekadar pembuktian. Sepakat?

Curup, 12.08.2022
Zaldy Chan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun