Kulihat segaris senyuman singgah di bibir anak gadisku. Isi kepalaku berputar kencang memburu ingatan tentang lagu yang disukai anakku.
"Lagu kebunku, ya?"
"Kan, kita gak punya?"
"Oh, iya! Lagu hujan?"
"Hah?"
"Tik..Tik..Tik..Bunyi hujan di atas..."
"Kan, hari ini gak hujan, Ayah?"
Suara tawa memenuhi kamar tidur. Tubuh kecil itu mulai berbaring di kasur. Tapi, matanya masih menatapku. Menunggu.
"Lagu bintang kecil di langit yang biru?"
"Bukan biru! Di langit yang tinggi, Yah!"
"Eh? Bukannya..."
"Bilang Bu Guru, langit biru adanya di waktu siang. Terus, kalau siang tak tampak bintang. Adanya di waktu malam."
"Oh! Bu Guru yang tukar, ya?"
Plak! Plak!
Seketika, dua pukulan pelan serentak mampir di kedua pipiku. Kemudian, seperti biasa, kedua lengannya itu melingkar memeluk erat leherku.
Sambil menahan tawa, tangan mungil itu menarik selimut. Menutupi seluruh tubuh dan wajahnya. Satu tanda, aku tak perlu lagi bicara.
Dan, semua akan baik-baik saja.
***
Pukul sepuluh malam.
Gadis kecilku telah berdiri di pintu kamarku. Naluriku sebagai ayah, menuntun tubuhku memeluk tubuh kecil itu.