Mataku menatap sepatu itu. Tak bergerak. Sepatu itu diam bukan bersebab ia sebagai benda mati. Namun, karena patuh pada kehendak dari pemiliknya.
Aku.
***
Dua jam berlalu. Sepatu itu, telah ikut berjajar dalam satu baris tanaman yang masih tersisa di halaman. Kuletakkan persis di tengah-tengah barisan.
Â
Di sebelah utara sepatu, sebuah ember bekas coran semen, ditumbuhi sebatang bayam merah, yang sudah kehilangan pucuk-pucuk daun di ranting terbawah.
Sebatang pohon cabai yang mulai kembali berbuah, tumbuh dan bertahan pada kaleng bekas wadah roti, hadiah lebaran tahun lalu dari tetangga sebelah.
Tepat di sisi sepatu, serumpun bawang daun tegak lurus, tapi tak menjulang. Terbenam dalam kantong plastik ukuran sedang bekas bungkusan deterjen.
Di sebelah selatan, tertinggal kenangan. Tiga pot besar berwarna hitam itu, pernah ditumbuhi Anglonema, Begonia dan Mostera. Sekarang, ketiganya dihuni aneka gulma.
Pada titik sepatu itu berada, pernah ada satu pot besar berbahan semen. Dulu berisi bunga lidah mertua. Sebelum dipecahkan pergantian musim.
Selain mawar putih dan melati yang menjaga pagar, Â bunga-bunga itu ikut serta menguras perhatian dan rasamu. Untukku.
Sepatu itu, seakan menjadi jembatan. Dari sebaris harapan dan segaris kenangan.