Kemarau tak lagi membenci hujan. Senja sejak tadi beraroma gerimis. Dan, baru saja dilengkapi seduhan segelas kopi di atas meja. Kau tersenyum.
"Diminum, Mas."
"Terima kasih, Cantik!"
Langkah kakimu mengayun ringan, mengajak tubuhmu menghilang dari ruang tamu.
Kusesap ujung gelas berkopi darimu.
***
Ah, kukira kau terlalu muda untuk lupa, sekadar membubuhkan satu setengah sendok gula.
Apakah sudah berlaku, satu pesan dengan satu kata, "Kopi!" memang dimaknai sebenar-benarnya campuran air mendidih dan serbuk kopi? Jika benar, sejak kapan?
Aku belum lupa rasa segelas kopi di kedai-kedai tepi jalan yang pernah kusinggahi. Mengenang tawaran setiap tuan rumah saat bertamu. Memang yang tersaji segelas kopi dan rasa pahit. Tapi sedikit. Tak sepenuhnya pahit!
Kau juga sepertiku. Sejak televisi harus terjual di awal tahun, tak lagi bisa menonton berita. Semisal tentang harga gula yang terus melonjak naik di pasaran. Mungkinkah mulai hari ini, nilainya semakin melambung tinggi hingga tak lagi terbeli?
Kita mesti berhemat, Mas!
Masih lekat di ingatanku kalimat itu. Dua hari lalu. Setelah mesin jahit peninggalan ibumu, terpaksa berpindahtangan pada seorang teman lamamu.