Temanku punya alasan khusus. Orangtuanya memiliki nazar akan membuat acara cukur rambut dengan memotong dua ekor kambing, layaknya acara akikah. Karena terkendala biaya, jadi tertunda. Saat SMP, baru dipotong.
Di luar nazar yang erat berhubungan dengan keyakinan, ada juga komunitas di nusantara yang memiliki tradisi ini, kan? Bahkan ada yang percaya, jika rambut dipotong tanpa acara selamatan akan mengalami sakit-sakitan.
Kedua, Sebagai Identitas
Pada beberapa komunitas atau profesi, Gondrong adalah identitas. Misalnya? Lihat saja musisi rock tahun 80-an hingga akhir 90-an, identik dengan rambut gondrong.
Tak hanya musisi. Para seniman juga merekat dengan rambut gondrong. Dulu, terasa seperti sayur kurang garam kalau melihat seniman tanpa gondrong. Jamak terekam di benak saat melihat rambut gondrong, adalah roker atau seniman!
Bagiku, gondrong pernah menjadi identitas. Karena jika ada yang mencari, akan mudah dikenali. Saran dari teman-teman, bila ada yang mencariku adalah:
"Temui yang rambutnya gondrong!"
Ketiga, Bagian dari Gaya hidup.
Bila kembali ke film masa era 70-an dan awal 80-an. Semisal Rano Karno, Roy Marteen atau Sophan Sopian, mereka berambut gondrong! Walau tak awut-awutan semisal musisi rock.
Aku menyebutnya Pemuda 70-an. Rambut panjang sebahu, ada poni, berkumis, serta brewok tipis sebatas daun telinga. Anggota grup musik The Beatles mungkin jadi acuan mode saat itu, ya?
Itu pun, ditambahi celana cutbray yang lebar plus sandal atau sepatu bersol tinggi dan tebal. Mirip-mirip kapal!
Bagaimana sekarang? Aih, aku susah mendefinisikan gaya rambut! Botak dituduh seksi, klimis diklaim rapi, rambut sisir semrawut dianggap laki bingits. Gondrong? Aku gak mau jawab!