"Kau ingin menulis senja?"
Satu pertanyaan melesat ke liang telingaku. Selain langit tanpa senja, dan embusan angin yang mengusap tirai jendela. Tak seorang pun ada di dekatku.
Satu-satunya sumber suara, berasal dari gemercik butiran hujan. Berjatuhan di atap, dan terhempas pada bebatuan kerikil di halaman.
"Tinggalkan senja!"
Lagi, satu perintah berdengung seperti sekawanan lebah pemburu putik bunga. Kali ini, tak lagi mengiang di liang telinga. Tapi memantul di  rongga kepala.
"Lupakan hujan!"
Plak! Plak!
Tanpa aba-aba, tangan kananku menepuk telinga kananku. Tak berjeda, satu pukulan dan satu rasa perih menyusul di telinga kiri. Hangat menyebar di kedua pipi, dan bermuara di sudut mata.
"Berhentilah menulis airmata. Klise!"
***
"Menulis tentang apa?"
"Kopi. Boleh, kan?"
Tak ada bantahan. Kamarku sementara kembali hening. Dua belas jam berlalu. Suara di kepalaku tak lagi mengganggu. Akhirnya, dua puisi dan satu cerpen tersimpan di catatan ponselku.
Namun, seperti sore kemarin. Ia bisa saja datang sewaktu-waktu. Dan memiliki kekuasaan, mencegah jemariku menulis kata senja, hujan, dan airmata.
"Kenapa judulnya begitu?"
Mataku melihat judul puisi yang kutulis dua hari lalu. "Betapa Manisnya Kopi, Begitu Pahitnya Gula".
Menurutku, tak ada yang salah pada judul itu. Selama ini, tak ada yang pernah menanyakan pilihanku tentang judul tulisan.
"Biar aneh, ya?"
"Bukan! Karena..."
"Apa yang menarik dari judul itu?"
Aku terdiam, dan menunggu. Tiga puluh tujuh menit berlalu. Tak lagi ada suara di kepalaku. Bisu.
***
Suara di kepala. Malam tadi, kuputuskan menyebutnya dengan sebutan itu. Setelah ia pergi dalam bisu, usai menanyakan judul puisiku.
Aku masih enggan memberikan sebuah nama atau satu julukan yang pantas. Setidaknya, aku memiliki dua alasan tak melakukan itu.
Pertama, aku tak kenal dan tak tahu asal kehadirannya. Tiba-tiba sudah mendekam di dalam kepalaku. Penuh amunisi larangan serta pertanyaan yang kerapkali menyudutkanku.
Kedua, sejak pertama kali hadir, ia bukan selayaknya teman. Kehadirannya membuatku tertekan saat menulis, bahkan membuatku terbeban. Ia memaksaku melakukan sesuatu yang sudah lama kutinggalkan. Berpikir.
Sial bagiku. Entah bagaimana, sepuluh jemariku lebih patuh pada perintah suara di kepala!
"Kau tak menyukaiku?"
"Aku mencoba ..."
"Tak hanya tulisan! Alasan membenci pun, kau bertele-tele!"
"Tapi ..."
"Fokus!"
Duk!
Tanpa kuduga. Dahiku sudah beradu dengan meja kayu. Ini kali pertama, suara di kepala melakukan kekerasan padaku.
Perlahan, kurasakan perih menggigit pelipis mata kiriku.
***
"Apa alasanmu memilih judul itu?"
Azan asar baru saja menjauh dari telingaku. Suara di kepala kembali datang bertamu. Aku tahu, pertanyaan itu tak butuh jawabanku. Kupilih menunggu.
"Tulisan harus logis! Walaupun fiksi."
"Pesan puisi itu ..."
"Aku tahu! Tapi pembaca butuh itu."
"Aku hanya ..."
"Kau egois!"
***
Petang ini kembali hujan. Langit yang berselimut mendung tebal, memastikan ritual penutup hari tanpa senja. Seingatku hari ketiga.
"Kau menulis cerpen?"
"Belum selesai. Aku ..."
"Bagian ending?"
"Iya!"
Aku pasti betah menunggu. Berharap, suara di kepala mengajariku, menata kisah penutup buat cerpenku.
"Tonton lagi!"
Aku terkejut! Layar ponselku bergerak cepat. Menutup catatan dan beralih ke aplikasi youtube. Beberapa video yang kemarin kutonton, bergulir sangat cepat. Kemudian berhenti.
Di layar ponsel, tampak sosok perempuan yang tersenyum sambil memamerkan telapak tangan kanan. Mataku tergesa membaca barisan kata yang tersusun di bawahnya.
"Tips Menulis Asma Nadia #7: 5 Kesalahan Penulis Pemula".
Curup, 04.06.2021
zaldy chan
[Ditulis untuk Kompasiana]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H