Tak ada bantahan. Kamarku sementara kembali hening. Dua belas jam berlalu. Suara di kepalaku tak lagi mengganggu. Akhirnya, dua puisi dan satu cerpen tersimpan di catatan ponselku.
Namun, seperti sore kemarin. Ia bisa saja datang sewaktu-waktu. Dan memiliki kekuasaan, mencegah jemariku menulis kata senja, hujan, dan airmata.
"Kenapa judulnya begitu?"
Mataku melihat judul puisi yang kutulis dua hari lalu. "Betapa Manisnya Kopi, Begitu Pahitnya Gula".
Menurutku, tak ada yang salah pada judul itu. Selama ini, tak ada yang pernah menanyakan pilihanku tentang judul tulisan.
"Biar aneh, ya?"
"Bukan! Karena..."
"Apa yang menarik dari judul itu?"
Aku terdiam, dan menunggu. Tiga puluh tujuh menit berlalu. Tak lagi ada suara di kepalaku. Bisu.
***
Suara di kepala. Malam tadi, kuputuskan menyebutnya dengan sebutan itu. Setelah ia pergi dalam bisu, usai menanyakan judul puisiku.
Aku masih enggan memberikan sebuah nama atau satu julukan yang pantas. Setidaknya, aku memiliki dua alasan tak melakukan itu.
Pertama, aku tak kenal dan tak tahu asal kehadirannya. Tiba-tiba sudah mendekam di dalam kepalaku. Penuh amunisi larangan serta pertanyaan yang kerapkali menyudutkanku.