Mohon tunggu...
zaldy chan
zaldy chan Mohon Tunggu... Administrasi - ASN (Apapun Sing penting Nulis)

cintaku tersisa sedikit. tapi cukup untuk seumur hidupmu

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Mengajak Anak "Mencemburui" Masa Lalu

3 Juni 2021   13:18 Diperbarui: 5 Juni 2021   13:55 563
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi anak-anak bermain di sungai (sumber gambar: pixabay.com)

Minggu lalu anak lelakiku mengikuti lomba renang antar kelompok umur. Setelah nyaris enam bulan mengikuti kursus renang. Juara? Iya. Di hatiku.

Dulu. Bagi orang kampung sepertiku, kalau yang namanya kursus itu pasti mahal. Apapun bentuk kegiatannya, karena harus membayar. Dan, terdengar aneh jika sekadar berenang malah bayar!

Kini, aku memiliki tiga alasan, kenapa kululuskan permintaan anakku untuk ikut kursus renang.

Pertama. Untuk mempertahankan kebenaran pakem lagu "Nenek Moyangku Seorang Pelaut". Ini mungkin alasan semu.

"Nenek moyang itu siapa, Yah?"
"Orang dulu, Nak!"
"Curup, kan tak ada laut?"

Sejak kecil, lagu itu, salah satu lagu anak yang dekat dan lekat di telinga anak-anakku. Dan, seiring bertambah usia, mereka akan mencari pembuktian dan pembenaran dari lagu yang mereka dengar.

Apa jadinya, mengaku nenek moyangnya pelaut, jika sekadar berenang tak mampu?

Apalagi sebagai orangtua, aku acapkali menceritakan kisah kehebatan orang-orang dulu. Tujuannya untuk memotivasi, walau terkadang lebay! Ahaaaay...

Kedua. Tindakan preventif dan reflektif setelah membaca kisah di Jogja. Ada yang ingat kisah viral ketika sekumpulan anak Pramuka diajak menyusuri sungai?

Terlepas dari siapa yang salah dalam musibah yang merenggut nyawa itu. Sebagai orangtua, naluriku menuntut untuk melakukan upaya antisipasi sebagai ikhtiar, agar hal itu tak terjadi pada anakku, kan?

Aku membayangkan, suatu saat nanti. Anakku bersama teman-temannya bermain di tepian sungai atau danau. Dan itu di luar jangkauan pengawasanku. Mungkin berniat becanda, saling dorong kemudian jatuh atau terpeleset ke sungai atau danau. Apalagi gelutan anak lelaki, tah?

Jika anakku bisa berenang, setidaknya mampu menyelamatkan diri ke tepian sungai atau danau. Jika tak bisa? Dan, ternyata teman yang mendorong atau semua temannya tak ada yang bisa berenang? Aih, mengerikan!

Ketiga. Tak lagi banyak sungai yang bisa direnangi. Dulu, guna menghindari urusan bayar-bayar. Aku dan teman-temanku akan menyusuri sungai-sungai di Curup. Kemudian mandi-mandi dengan gaya berendam atau tenggelam. Kemudian itu diakui sebagai kegiatan berenang.

Namun, sejalan perubahan lingkungan, tata kota dan tata kelola ruang, serta perilaku warga. Saat ini, tak lagi memungkinkan anak-anakku untuk berenang di sungai!

Beragam limbah rumah tangga, membuat air sungai kotor, dasar sungai berlumpur dan penuh pecahan beling yang "dititipkan" warga.

Saat ini, anakku dan banyak anak temanku, kalau ingin berenang harus ke kolam renang atau ke objek wisata Suban Air Panas. Biarlah bayar! Daripada tak bisa renang?

Ilustrasi membajak sawah. Suasana yang semakin jarang ditemui saat ini (sumber gambar: pixabay.com)
Ilustrasi membajak sawah. Suasana yang semakin jarang ditemui saat ini (sumber gambar: pixabay.com)
Mengajak Anak "Mencemburui" Masa Lalu

Jika menurutku ada pengalaman bagus di masa kecil, aku termasuk orangtua yang "merasa bersalah", jika hal itu tak bisa dialami anak-anakku.

Berenang secara bebas di sungai. Menjadi salah satu rute yang sulit aku terapkan. Sehingga berenang di kolam renang, menjadi pilihan.

Terkadang, aku mencari "cara lain" agar anakku juga mengalami apa yang aku lalui dulu. Walau tak persis sama.

Saat liburan sekolah, aku memilih mengajak anakku ke sawah, yang sudah mulai sulit ditemukan di sekitar tempat tinggal.

Bagiku, berjalan di pematang sawah yang kecil dan licin, terjatuh dan berlumpur, serta keseruan memancing belut, adalah nutrisi kenangan dan pengalaman paling murah meriah.

Ketika musim layangan. Aku tak melayani permintaan anak lelakiku membeli layangan seharga dua ribu rupiah. Tapi "mengorbankan" batangan bambu yang biasa digunakan untuk jemuran, dijadikan arku (tulang layangan). Kemudian menjadikannya layangan, berbahan kertas koran bekas.

Apa yang terjadi? Awalnya anakku rendah diri, tetapi kemudian menjadi bangga. Karena memiliki layangan yang beda sendiri.

Keuntungannya? Di musim layangan berikutnya, anakku bisa membuat sendiri tanpa harus membeli. Malah, mengajak dan mengajari teman-temannya membuat layangan di rumah.

Saat temannya memiliki mobil remote atau mobil berbahan plastik. Kuajak anakku "menyulap" potongan kayu bekas peti kemas, menjadi mobilan kayu. Rodanya? Berbahan sandal bekas.

Saat ini, karena sudah beranjak besar. Beberapa permainan yang berasal dari barang dan bahan bekas itu, masih berbekas di ingatan dan kenangan anakku.

Ilustrasi bermain layangan. Salah satu pengalaman yang murah meriah di masa kecil (sumber gambar: pixabay.com)
Ilustrasi bermain layangan. Salah satu pengalaman yang murah meriah di masa kecil (sumber gambar: pixabay.com)
Situasi Hari Ini, Gegara Keputusan Masa Lalu?

Aku sepakat dengan ujaran, "lain padang lain belalang, lain lubuk lain ikannya". Pun memahami, jika setiap generasi, akan mengalami serta menemukan kelebihan dan kekurangan masing-masing.

Namun, jangan lupa juga. Bahwa yang dihadapi hari ini, sedikit banyaknya berpijak dari dampak keputusan serta perbuatan yang dilakukan di masa lalu, tah?

Semisal tentang "hilangnya" kesempatan anakku berenang di sungai. Tentu saja, aku tak bisa ajukan telunjuk pada masyarakat di sekitar sungai. Gegara mereka, anakku tak lagi bisa berenang di sungai sepertiku dulu!

Aku juga tak mungkin menyudutkan pembuat kebijakan, yang tidak mengantisipasi bagaimana lingkungan sekitar sungai tetap terjaga untuk generasi mendatang?

Yang aku khawatirkan, jejangan generasi masa depan, tak bisa membedakan sungai, kali, got, siring dan selokan! Atau, coba bayangkan jika membaca sebuah judul berita

"Akibat Hujan Semalaman, Terdapat 3 Titik Kubangan di Istana Negara"

Hanya gegara si penulis tak bisa membedakan antara "kubangan" dan "genangan". Mengerikan!

Ilustrasi anak dan orangtua. Berbagi kisah masa lalu bisa menjadi salah satu upaya bonding anak dan orangtua (sumber gambar: pixabay.com)
Ilustrasi anak dan orangtua. Berbagi kisah masa lalu bisa menjadi salah satu upaya bonding anak dan orangtua (sumber gambar: pixabay.com)
Terus?

Menurutku, tak ada salahnya mengajak anak untuk "mencemburui" masa lalu. Agar tak dimaknai secara keliru.

Tentu saja dengan berbagai batasan dan jenjang usia. Dengan tujuan berbagi pengalaman atau pengetahuan. Termasuk "kegagalan dan kebodohan" yang pernah dilakukan.

Poinnya, anak jadi tahu hal yang dilalui orangtuanya, serta berlatih mengambil hikmah dan pelajaran dari kisah-kisah dulu. Hematku, tak perlu khawatir dianggap bukan orangtua sempurna di mata ananda.

Toh, bulan purnama yang biasa tampak sempurna, tak akan bermakna jika dipandang dengan rasa hampa. Iya, kan?

Siapa tahu, dengan mengulang nostalgia, malah semakin merekatkan ikatan rasa (bonding) antara anak dan orangtua.

Atau seperti yang kualami, saat menemani anakku latihan renang kemarin.

"Ayah! Gerakan kakinya salah!"
"Hah?"
"Itu gaya dada. Kalau gaya bebas, kakinya lurus!"
"Ini gaya kampung, Nak!"

Curup, 03.06.2021
Zaldy Chan
[Ditulis untuk Kompasiana]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun