Ketika musim layangan. Aku tak melayani permintaan anak lelakiku membeli layangan seharga dua ribu rupiah. Tapi "mengorbankan" batangan bambu yang biasa digunakan untuk jemuran, dijadikan arku (tulang layangan). Kemudian menjadikannya layangan, berbahan kertas koran bekas.
Apa yang terjadi? Awalnya anakku rendah diri, tetapi kemudian menjadi bangga. Karena memiliki layangan yang beda sendiri.
Keuntungannya? Di musim layangan berikutnya, anakku bisa membuat sendiri tanpa harus membeli. Malah, mengajak dan mengajari teman-temannya membuat layangan di rumah.
Saat temannya memiliki mobil remote atau mobil berbahan plastik. Kuajak anakku "menyulap" potongan kayu bekas peti kemas, menjadi mobilan kayu. Rodanya? Berbahan sandal bekas.
Saat ini, karena sudah beranjak besar. Beberapa permainan yang berasal dari barang dan bahan bekas itu, masih berbekas di ingatan dan kenangan anakku.
Aku sepakat dengan ujaran, "lain padang lain belalang, lain lubuk lain ikannya". Pun memahami, jika setiap generasi, akan mengalami serta menemukan kelebihan dan kekurangan masing-masing.
Namun, jangan lupa juga. Bahwa yang dihadapi hari ini, sedikit banyaknya berpijak dari dampak keputusan serta perbuatan yang dilakukan di masa lalu, tah?
Semisal tentang "hilangnya" kesempatan anakku berenang di sungai. Tentu saja, aku tak bisa ajukan telunjuk pada masyarakat di sekitar sungai. Gegara mereka, anakku tak lagi bisa berenang di sungai sepertiku dulu!
Aku juga tak mungkin menyudutkan pembuat kebijakan, yang tidak mengantisipasi bagaimana lingkungan sekitar sungai tetap terjaga untuk generasi mendatang?
Yang aku khawatirkan, jejangan generasi masa depan, tak bisa membedakan sungai, kali, got, siring dan selokan! Atau, coba bayangkan jika membaca sebuah judul berita