Jika anakku bisa berenang, setidaknya mampu menyelamatkan diri ke tepian sungai atau danau. Jika tak bisa? Dan, ternyata teman yang mendorong atau semua temannya tak ada yang bisa berenang? Aih, mengerikan!
Ketiga. Tak lagi banyak sungai yang bisa direnangi. Dulu, guna menghindari urusan bayar-bayar. Aku dan teman-temanku akan menyusuri sungai-sungai di Curup. Kemudian mandi-mandi dengan gaya berendam atau tenggelam. Kemudian itu diakui sebagai kegiatan berenang.
Namun, sejalan perubahan lingkungan, tata kota dan tata kelola ruang, serta perilaku warga. Saat ini, tak lagi memungkinkan anak-anakku untuk berenang di sungai!
Beragam limbah rumah tangga, membuat air sungai kotor, dasar sungai berlumpur dan penuh pecahan beling yang "dititipkan" warga.
Saat ini, anakku dan banyak anak temanku, kalau ingin berenang harus ke kolam renang atau ke objek wisata Suban Air Panas. Biarlah bayar! Daripada tak bisa renang?
Jika menurutku ada pengalaman bagus di masa kecil, aku termasuk orangtua yang "merasa bersalah", jika hal itu tak bisa dialami anak-anakku.
Berenang secara bebas di sungai. Menjadi salah satu rute yang sulit aku terapkan. Sehingga berenang di kolam renang, menjadi pilihan.
Terkadang, aku mencari "cara lain" agar anakku juga mengalami apa yang aku lalui dulu. Walau tak persis sama.
Saat liburan sekolah, aku memilih mengajak anakku ke sawah, yang sudah mulai sulit ditemukan di sekitar tempat tinggal.
Bagiku, berjalan di pematang sawah yang kecil dan licin, terjatuh dan berlumpur, serta keseruan memancing belut, adalah nutrisi kenangan dan pengalaman paling murah meriah.