Kukira, guruku masa itu tak hanya menguasai psikologi pendidikan, tapi juga membaca psikologi peserta didik saat ujian.
Jadi, jika sehari ada dua pelajaran yang diujikan. Maka varian ujiannya adalah: Satu pelajaran mudah, diduetkan dengan satu pelajaran susah.
Misalnya, pelajaran MM yang dianggap sulit, diduetkan dengan mata pelajaran semisal Pancasila (PMP). Alasan sederhananya, satu ilmu pasti yang butuh rumus, satunya butuh logika dan nalar.
Bisa juga varian Pelajaran Kesenian (Sekarang SBDP) dengan Pelajaran IPA. Pelajaran Agama dengan Bahasa Indonesia, Pelajaran IPS dengan pelajaran olahraga (Penjaskes).
Untungnya. Saat ini, pengkategorian pada pelajaran susah dan mudah itu tak lagi berlaku.
Namun, hematku, dari kacamata psikologi pendidikan, semakin gawat! Penyelenggara sekolah terlupa membaca psikologi anak saat ujian.
Dan, terlupa mendesain beban bahan ajar yang mesti dilahap anak-anak jika sedang ujian. Jika ujian dianggap sebagai evaluasi dan keberhasilan Kegiatan Belajar Mengajar.
Anakku pernah mendapat jadwal ujian, satu hari itu ujian mata Pelajaran IPA dan IPS! Keduanya mata pelajaran dengan materi cenderung hapalan daripada pemahaman, kan?
Usai diskusi saat pembagian rapor, antara pihak sekolah dan sesama wali murid. Maka, desain itu diubah pada semester berikutnya.
Ada juga cerita lucu yang aku dapatkan cerita temanku. Jadwal ujian anaknya, satu hari tiga pelajaran. Astaga! Itu ujian atau balapan?